"Saya Tidak Baca buku untuk mendapatkan kecerdasan, Saya baca untuk lari dari realita."
Buku disebut sebagai jendela dunia, buku sebagai guru yang baik,
buku sebagai pelita ilmu, tak ayal hanya sebuah mitos. Mitos buku telah
ditanamkan pada benak manusia sejak bayi. Kita terlalu lama menerima doktrin
akan buku yang begini, yang begitu. Buku yang katanya dapat mencerdaskan
manusia adalah angan-angan yang terlalu membosankan.
Berdasarkan hasil survei
UNESCO pada tahun 2012 menunjukkan indeks tingkat minat baca masyarakat
Indonesia hanya 0,01%. Bisa diartikan, hanya ada 1 dari 1000 orang yang
masih mau membaca buku. Satu dari 1000? Berarti jika kamu suka
membaca buku, maka ada satu batalion orang yang waras. 999 orang sisanya selain
kamu sudah menyadari bahwa membaca buku seperti menyiram tanaman saat hujan.
Buat apa? Percuma. Dengan rasio ini, berarti di antara 250 juta penduduk
Indonesia, hanya 250.000 orang saja yang masih minat membaca. Sedangkan
pengguna internet di negeri ini telah mencapai angka 112 juta jiwa pada 2017.
Lihat, dengan pengguna internet sedemikian banyak, saya yakin dalam 1-2 tahun
lagi generasi muda Indonesia akan membawa negeri ini kembali menjadi Macan
Asia. ingat itu.
Saya punya fakanya kalau
membaca buku adalah percuma. Dengan minat baca yang demikian rendah,
Indonesia sekarang bisa menjadi salah satu negara berkembang yang cukup pesat.
Buktinya, semakin banyak orang-orang pintar yang duduk di dalam ruang
paripurna, angka kelulusan siswa sekolah mendekati 100%, para balita semakin
pandai mengoperasikan teknologi digital (gadget), semakin banyaknya orang dengan lapisan gelar deppan belakang, dan masih banyak lagi. Ingat, itu semua diraih dengan
0,01% minat baca. Artinya, buku tidak hebat-hebat amat seperti yang
digemborkan.
Selain itu, buku bukanlah hal
yang praktis. Juga mahal. Anggaplah rata-rata sebuah buku dengan harga Rp50.000.
Dengan nominal sekian, lebih baik membeli pulsa data (interNET). Bahkan masih ada uang kembali barang seribu-dua ribu. Juga tidak perlu
jauh-jauh mengunjungi toko buku, warung sebelah pun menjual pulsa. Dari harga
dan efisiensi waktu saja, sudah terlihat jelas betapa lemahnya buku. Ilmu di
internet jauh lebih banyak, lebih mudah didapat. kasih tahu queen Google saja, kamu butuhkan adalah hanya kata kuncu, Tidak perlu memegang buku
berlembar-lembar dengan berat sekian kilo, cukup modal jempol, ribuan ilmu
sudah dapat diakses. Belum lagi dengan kemampuan copy-paste jika sedang membuat
tugas atau dalam pekerjaan.
Buku adalah benda yang sangat membosankan,
terlebih jika kita berkunjung ke toko buku atau perpustakaan, sangat menyeramkan,
karena keadaan di dalamnya yang sangat sepi. Isi dari buku hanyalah deretan
huruf, huruf, dan huruf atau ang- angka dan angka. Apa menariknya? Belum lagi kebanyakan buku hanya
terdiri dari warna hitam dan putih. Sangat jauh dibandingkan dengan smartphone
yang lebih atraktif dan menghibur. Apalagi jika sedang bosan, proses mencari
ilmu bisa disela oleh update status atau stalking sosmed, tapi lebih ke-membagi kebahagiaan kepada teman-teman di sosial media. kalau Buku? Mana bisa seperti itu. Yo too??
Di negara-negara Eropa seperti
Jerman, Prancis, dan Belanda, siswa SMA diwajibkan untuk menamatkan/harus diselesaikan baca buku sekitar 20
judul buku sebelum mereka diluluskan oleh sekolah. Sedangkan di Indonesia,
semenjak Pak Harto belum disunat hingga kini, tidak ada kewajiban dari sekolah
atau pemerintah kepada siswanya untuk menamatkan bacaan. Saya jadi kasihan
kepada anak-anak di Eropa sana. Betapa membosankannya hidup mereka harus
dihabiskan dengan membaca. Negara-negara dengan sistem pendidikan yang
konservatif. Berbeda dengan para anak muda di Indonesia yang sudah diberikan
kemerdekaan sejak dini. Terbebas dari belenggu buku yang membosankan.
Lihat bagaimana bahagiannya
anak-anak muda di Indonesia saat wisuda atau tamat dari institusinya. Maka bagi
saya, wajarlah mereka yang baru saja lulus sekolah lantas merayakan dengan
corat-coret seragam. Itukan feeling happiness.
Tidak seperti anak-anak di Eropa sana yang kehidupannya menyedihkan karena
ranselnya selalu berat dengan buku-bukuan. Yang penting lulus. Kuliah.
Kurangnya minat baca bukan
lantaran kami ini miskin lantas tidak bisa membeli buku. Perlu ditekankan. Kami
mampu-mampu saja jika harus membeli buku, tapi toh buat apa? Baik, saya
buktikan bahwa penduduk Indonesia rata-rata mampu untuk membeli buku. Dalam
satu bulan untuk memperoleh informasi, anggap saja rata-rata orang Indonesia
menghabiskan Rp100.000 untuk anggaran pulsa smartphone, lalu Rp300.000 untuk
membayar siaran tv kabel, lantas Rp500.000 untuk membayar tagihan internet.
Lihat? Kata siapa orang Indonesia miskin sehingga tidak mampu membeli buku?
Bahkan coba saja kamu ke kolong jembatan, atau menengok ke dalam
rumah-rumah kardus di bantaran rel kereta, mereka semua mengenggam ponsel.
Bahkan ponselnya pintar. Saya tekankan, bukannya orang Indonesia tidak mampu
membeli buku. Hanya saja buat apa? itu fakta saya sendiri lihat mata kepala saya di Jakarta. saat saya lagi naik Go-ride, di per4an keadaanya traffik maka sat itu mas ojek diperhentikan sambil tunggu kemacetan redah saya lihat ada beberapa homeless dipegani HP new release. kalau saya bilang HP new release, tentu anda paham. Kita kan generasi milenium 1996 sampai sekarang. masa Ko tidak tau tu!
Buku itu kuno, mitos, sekali
lagi. Jika ada survey atau lembaga yang menyuarakan wajib membaca buku, saya
bisa tekankan, itu adalah upaya pelemahan bagi penduduk Indonesia.
Negara-negara Barat yang sedang mengalami krisis tentu iri melihat kecanggihan
penduduk Indonesia, yang bahkan bayi bisa mengoperasikan telepon pintar. Maka,
mereka menggaungkan wajib membaca agar pola pikir penduduk Indonesia kembali
mundur. Logikanya, buat apa diciptakan teknologi yang sedemikian canggih
sehingga bisa memudahkan manusia untuk mendapat informasi, jika masih harus
membaca lembaran-lembaran kertas? Kuno. Oh Iya ini yang PENTING ini! lagi, buku yang notabene
menggunakan kertas adalah bentuk dari penghamburan sumber daya alam (pohon). Mau botak apa itu, kita butuh go green.
Sebenarnya pemerintah Indonesia
sudah menyadari akan kesia-siaan fungsi buku sejak tahun belakangan silam.
Pemerintah telah menyadari bahwa buku adalah bom waktu yang dapat meledak kapan
saja dan membawa Indonesia ke dalam masa kegelapan. Lihat bagaimana pemerintah
sempat membakar buku-buku para sastrawan, menyita, atau dilarang terbit. Lihat
juga bagaimana cara pemerintah Indonesia melarang dan membubarkan
diskusi-diskusi tentang buku dan bedah buku. Contohnya, Diskusi dan bedah buku
berjudul ‘Islam Tuhan Islam Manusia’ yang digelar hari ini di IAIN Surakarta
mendapat pengawalan ketat aparat gabungan Polri dan TNI. Juga, beberapa
mahasiswa Papua di Yogyakarta selenggarakan launching, sekaligus bedah buku
berjudul “Papua Versus Papua: Perubahan dan Perpecahan Budaya” yang ditulis
oleh I Ngurah Suryawan, Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA)
Manokwari, Papua Barat. Saat acara berlangsung, 15 Orang Reserse (mata2 polisi) didatangi dan membuat mereka trauma.
Belakangan, perpustakaan nasional mendukung
pemerintah untuk memusnahkan beberapa buku. Baguslah, pemerintah kita semakin
cerdas menghadapi bahaya laten yang ditimbulkan oleh buku. Setelah tidak
mewajibkan para siswa membaca buku, kini buku-buku mulai dibakar. Sebentar
lagi. Hanya sebentar lagi Indonesia memasuki masa keemasan seperti yang dijanjikan
oleh kitab Jayabaya.
Terbaru, World’s Most Literate
Nations yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016
menyebutkan bahwa peringkat literasi Indonesia berada pada posisi 60, dari 61
negara yang diteliti. Indonesia satu tingkat di atas Bostwana.
References:
1. http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia
2. http://gobekasi.pojoksatu.id/2016/05/19/survei-unesco-minat-baca-masyarakat-indonesia-0001-persen/
3. https://bukuohbuku.wordpress.com/2008/07/27/acara-bedah-buku-papua-irian-barat-berakhir-rusuh/
4. https://www.rappler.com/indonesia/169376-polisi-kawal-diskusi-buku-iain-surakarta
5. https://sapusuara.blogspot.com/2017/08/launching-bedah-buku-kami-didatangi-15.html
0 comments:
Post a Comment