Aug 13, 2016

P'juangan secara tenang

Ist/Perjuangan secara tenang
Pada 1965 Martin Luther King Jr. memimpin orang-orang kulit hitam di Selma ke Montgomery di Alabama untuk mendapatkan hak mereka ikut dalam pemilihan umum. Dalam perjuangan itu, Marthin Luther King Jr. bergeming untuk berjuang tanpa kekerasan sekalipun polisi dan kelompok anti kulit hitam menodong mereka dengan senjata api.

Pada 2016 Yu Sutinah bersama delapan perempuan dari Rembang berjuang menolak pembangunan pabrik semen di Rembang. Mereka duduk dalam diam di depan Istana Merdeka dengan kaki-kaki yang di semen sebagai simbol penolakan. Nama Yu Sutinah sudah barang tentu tak sepopuler Yu Jum, penjual gudeg, atau Y[o]u Tube, penyedia video di ranah dunia maya.

Pada 2016 segenap Mahasiswa/I Papua di Yogyakarta, ketika mereka ingin meluruskan sejarah yang orang banyak begitu pura-pura tidak tahu, untuk mengajukan kepada pengabdi Rakyat. Serta-merta aparat low level - high level berkerimun mendekati mereka, saat mereka memutuskan untuk menuju ke Rumah bersama yakni white house, dimana mereka hanya ingin menyampaikan Syaloom sebagai kata pembuka dan tidak banyak hal tentang isi ungkapan mereka yang bertentangan dengan institusi, hanya ingin melontarkan tanpa kekerasan secara diam kepada orang No. 1 ditanah air kita.

Tak seperti Martin Luther King Jr yang mudah untuk bertemu dengan Presiden Lyndon B. Johnson, Yu Sutinah dan seluruh Mahasiswa belum bertemu—kalau tak dikatakan sulit bertemu—dengan Presiden Joko Widodo padahal mereka sudah di depan Istana sejak 12 April 2016 (untuk rombongan Yu Surinah) dan ditahan oleh TNI/POLRI belum sampai  di istana (untuk Mahasiswa/i Papua)

Perjuangan Yu Sutinah dan teman-teman sudah dimulai sejak 2014. Sama seperti Martin Luther King Jr., perjuangan Yu Sutinah juga diwarnai dengan berbagai aksi kekerasan dari pihak pengusaha yang didukung aparat. Inilah yang menjadi alasan mengapa bukan para lelaki—menurut Yu Sutinah akan lebih emosional saat berhadapan dengan mereka yang mengedepankan kekerasan—yang melakukan aksi perjuangan tersebut.

Begitu pula Mahasiswa setiap bulan dari sejak doeloe, dimana hari kebesaran bagi Papua, mereka selalu berbondong untuk melontarkan ide mereka secara demokratis. Namun, faktanya terlihat meredahkan dan tidak pernah dipenuhi. Sakit dobel sakit.

Ini memang soal pilihan. Namun, bukan pilihan yang mudah. Di tengah berbagai tantangan hidup yang semakin berat dan keras, memilih untuk menjalani hidup tanpa kekerasan mungkin bukan pilihan populer. Namun, baik Martin Luther King Jr, Yu Sutinah dan Mahasiswa/I Papua menunjukkan bahwa perjuangan tanpa kekerasan tetap dapat menjadi pilihan terbaik. Kekerasan memang harus dihadapi dengan sikap tanpa kekerasan.

Mereka menunjukkan bahwa perjuangan tanpa kekerasan masih layak diperhitungkan sebagai cara untuk menjalani laku hidup. Di tengah dunia yang semakin gaduh, diam menjadi mata air yang menyejukkan. sebab? berani.! karena? benar.!


Semoga!


@Makidi..!

0 comments:

Post a Comment