HOLLANDIA - Gubernur Van Eechoud
ialah Bapak bagi orang Papua. Mengapa Eechoud disebut Bapak Papua? Karena Ia
selain seorang gubernur Belanda untuk Papua, ia juga telah berhasil meletakkan
dasar-dasar pembangunan bagi bangsa Papua. Lalu, dasar pembangunan apa yang
diletakkan van Eechoud? Menurut de Boer (1852:227), van Eechoud datangkan
berbagai ilmuwan untuk meneliti masyarakat Papua, baik budayanya, karakteristik
tanah berserta alamnya, agar berdasarkan hasil penelitian itu dapat dibangun
Papua menuju satu kemandirian. Jika tidak, maka kata Eechoud, hasil pembangunan akan selalu bermuara pada kekerasan.
Dalam bukunya: “Vergeten Aarde”
(de Boer, 1952:227 dalam Quo Vadis Papua karya Freddy Numberi 2014:399), Van
Eechoud mengatakan: “Waarheen Papua? Hij
moet naar zijn toekomst geleid worden en daarvoor is nodig, dat wij weten welke
omstandigheden en met welke krachten wij te maken krijgen; dat wij dus een
studie maken van zijn gadachten en gevpelsleven. Zonder deze studie, die alleen
vruht kan dragen als ze berust op een zekere idealistische interrese, is alle
actie en alle plannen makerij nutteloos, ja, zelfs gevaarlijk, omdat zij
slechts tot haos kan leiden”.
Menurut Van Eechoud, orang Papua
perlu dibimbing menuju masa depannya, dan untuk itu perlu mengetahui keadaan-keaadan dan kekuatan-kekuatan yang
akan kita hadapi; maka kita perlu melakukan studi untuk mempelajari
pikiran-pikiran dan perasaan hati nurani mereka (orang Papua). Tanpa studi yang
dilandasi suatu idealisme keberhasilan, maka semua tindakan serta segala
rencana akan sia-sia, bahkan bisa menimbulkan bahaya karena hal ini dapat saja
bermuara pada kekerasan.
Berdasarkan pernyataan ini, maka
Eechoud ketika memimpin bumi Cenderawasih, ia telah mendatangkan berbagai
ilmuwan dari berbagai jurusan untuk meneliti Papua. Salah satu contoh di
pinggir bibir danau Paniai. Pada tahun 1939-1958, ia melantik antropolog JV de
Bruijn untuk memimpin rakyat Paniai (Ndauwa, Nduga, Migani dan Ekagi). Bruijn ialah seorang ilmuwan (antropolog)
namun diberi jabatan Kepala Distrik. Sambil menjalankan roda pemerintahan,
Bruijn melakukan berbagai penelitian dibidang antropologi budaya dan
pemerintahan di wilayah itu.
Hasil dari berbagai penelitian
yang dilakukan terhadap pola hidup di enam wilayah adat Papua (Domberai,
Bomberai, Saireri, Meepago, Mamta, Laa Pago, dan Ha-Anim) maka, kemudian
Belanda tidak bingun ketika menetapkan berbagai program dan kebijakan
pembangunan. Sepertinya, ketika Indonesia merebut Irian Barat, murid-murid
Indonesia yang pernah belajar di negeri Belanda, berbuat hal yang sama pada
Belanda.
Van Eechoud juga pernah
perintahkan putra-putra cerdas dari Papua yang tergabung dalam Dewan Suku-Suku
untuk meneliti nama yang betul-betul menunjukan identitas masyarakat Papua yang
berasal dari Sorong sampai merauke.
Karena menurutnya, nama Papua berasal dari bahasa Tidore yang mengandung
arti Not Integrated atau tidak bergabung dengan anda (pigai, 2000:225).
Rupanya, raja Tidore tujukan untuk Papua New Guinea sebagai bagian yang tidak
tergabung dengan wilayah kekuasaannya. Batasnya ditancap di Tobati yang
artinya, batasku.
Kemudian, mereka yang ditugaskan
Eechoud diantaranya, Frans Kaisipo, Korinus Krey, Yan Waromi dkk mengusulkan
nama Irian dari kampung Harapan Jayapura. Nama Irian disosialisasikan di
konfrensi Malino, 16 Juli 1946. Dalam pidatonya, Kaisepo mengatakan, Irian
mengandung arti Tanah yang disirami sinar pagi yang memanas (Rosihan Anwar
dalam manuskrip buku Mapia, 2004). Sayangnya, nama ini divulgalisir oleh kaum
Digulis (pro Indonesia) menjadi Ikut Republik Indonesia Anti Nederland (Pigai,
2000:96).
Dalam buku Mapia, nama Irian
berasal dari bahasa sejumlah suku yang ada di Papua. Irian dalam bahasa Biak,
iri artinya tanah, an artinya Panas, jadi Irian artinya tanah yang memanas.
Dalam bahasa Serui, iri artinya tanah, an artinya bangsa jadi, Irian dalam
bahasa Serui mengandung arti tiang bangsa atau tanah air. Dalam bahasa Merauke,
iri artinya ditempatkan, diangkat tinggi dan an artinya bangsa, jadi Irian
dalam bahasa Merauke artinya bangsa yang diangkat tinggi, bangsa yang
dipuja-puji atau blessed people.
Sedangkan kata an yang dipakai dalam bahasa Biak, Serui dan Merauke
ditemukan kesamaan kata dari bahasa-bahasa yang
ada di wilayah Mee-pago. Ann (Dani/Lani/Ndauwa, Nduga) artinya saya.
Suku Mee menambah i menadi ani, artinya saya. Dari semua bahasa dari beberapa
suku diatas, Irian disimpulkan mengandung arti, saya ini atau bangsa ini
(dibentuk) dari (debu) tanah panas yang tinggi derajatnya dari makhluk hidup
lain (karena memiliki akal budi).
Pengertian Irian di atas ini,
sedikit mirip dengan pernyataan penciptakan yang dikisahkan dalam Kitab Genesis
karya Nabi Musa, pasal 1 sampai dengan pasal 8. Dimana, manusia pertama itu
diciptakan dengan debu panas, namun kemudian diusir dari taman Firdaus karena
mengambil haluan independen. Memahami pasal Kejadian, maka ternyata dua manusia
pertama tidak “berdialog” tentang apa yang diperintahkan Allah dengan apa yang
dibujuk Setan. Keduanya tanpa timbang-timbang telah dirasuki kebutuhan
badaniah, tanpa berpikir sesuatu yang lebih positif.
Seandainya, Taman Firdaus itu
kemudian hari dinyatakan berada di wilayah Papua, dengan batas Timur Salomon
Island, batas Selatan Benua Australia, Batas Barat berada di ujung Timur pulau
Sulawesi dan Kepulauan Sumba, apakah yang diusir itu orang Kalimantan, Malasya,
Jawa dan Sumatra? Sehingga kemudian hari mereka harus kembali ke negeri
asalnya? Jawabannya silakan bertanya kepada pakar Arkeolog, Antropolog dan
Geolog. Karena merekalah yang empunya data persebaran ras umat manusia.
Lalu, apa kata Soekarno tentang
Papua? Dalam buku Quo Vadis Papua karya Freddy Numberi (2014:401), Soekarno
mengatakan: “Saya akan jadikan orang
Irian, Tuan di tanahnya sendiri, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”
Numberi melanjutkan di paragraf
berikut, menjadi TUAN di atas tanah negerinya sendiri, itulah esensi dari janji
yang diikarkan oleh Seokarno, sang proklamator Republik Indonesia. Di sini,
kita teringat pada sebuah pesan profetis dengan nada, nafas dan jiwanya semakna
dengan apa yang pernah dikatakan oleh Pendeta Izaak Samuel Kijne, sang pendidik
dan pujangga besar orang Papua asal Belanda.
Kijne mengatakan: “Tiada seorang pandai dan berhikmat
sekalipun yang dapat memimpin Papua kecuali kelak orang Papua itu sendiri
bangkit dan memimpin diri mereka sendiri”.
Menurut Numberi di kalimat
berikut, pernyataan Kijne ini jelas bukan perkataan seorang tokoh yang tidak
mampu mengurus orang Papua, tetapi pernyataan ini lahir dari sebuah pergumulan
dan kontemplasi panjang seorang Kijne dalam mendidik dan memahami karakter
orang-orang Papua agar mandiri, maju dan berkembang dalam peradaban Injil.
Di kalimat berikutnya, Numberi
membenarkan pernyataan IS Kijne. Numberi
menulis, semakin orang Papua bangkit dan memimpin dirinya sendiri, maka
pengetahuan dan pengalaman mereka semakin bertambah serta bermartabat.
Begitupun juga dengan kecerdasan, rasa percaya diri dan kepemimpinan. Semakin
orang Papua terus membangun dirinya secara mandiri, maka mereka akan terus
terasah menjadi arif dan bijaksana, dan akhirnya menjadi “Tuan di atas tanahnya
sendiri”. Kata kunci terwujudnya pernyataan Kijne adalah “pendidikan, sebagai
jendela dunia” dalam peradaban dunia modern dewasa ini.
Menyoal Papua memang rumit dan
kompleks tetapi juga menyeluruh. Pemimpin redaksi TVOne dalam Acara Indonesia
Lawyer Club membahas soal Papua dalam judul “Gonjang-Ganjing Papua”. Dalam
acara itu hadir sejumlah tokoh dan pengalamat Papua. Diantaranya ialah Freddy
Numberi, Barnabas Suebu, Theo Wanggai, Michael Manufandu, dll.
Ketika giliran Freddy Numberi, sempat
diulas pernyataan Soekarno diatas. Kata Numberi, Soekarno pernah berjanji untuk
menjadikan orang Papua tuan diatas tanahnya sendiri. Tetapi pendekatan
pembangunan yang dibangun selama pemerintahan Orde Baru telah melukai Hati
orang Papua. Dari tahun ke tahun, telah dibuat banyak operasi. Mulai dari
operasi koteka hingga isu genosida yang sedang gencar di tanah Papua.
“Whats wrong”, Numberi bertanya.
Presiden Pertama RI Ir Soekarno dan Penggantinya, Soeharto. (Foto: http://indocropcircles.wordpress.com/2013/05/29/bongkar-konspirasi-antara-sukarno-suharto-dan-freeport/) |
Menurut Numberi (2014, 398), isu
Papua merdeka itu dilahirkan oleh Presiden pertama RI Ir Soekarno. Pada tahun
1948, Soekarno terbitkan Undang-Undang Nomor 22 1948 tentang Provinsi Irian
Barat yang berkedudukan sementara di Soasiu Pulau Tidore. Tetapi dengan adanya
Trikora pada tanggal 19 Desember 1960, maka Soekarno sendirilah yang menyebut
“Negara Papua”. Pernyataan Bung Karno
dalam Trikora berbunyi “Bubarkan Negara Boneka Papua Buatan Belanda”. Inilah
yang menjadi dasar polemik hingga menelan korban jiwa yang tidak sedikit di
tanah Papua.
Numberi juga masih mengutip
pernyataan Pendeta I.S. Kijne sebelum meninggalkan Papua di pelabuhan Serui,
1958: “Di Tanah ini (Papua) kita dapat
memegang kemudi, tetapi bukan kita yang menentukan angin dan arusnya”. Kijne
juga pernah mengatakan: “Tiada seorang
pandai dan berhikmat sekalipun yang dapat memimpin Papua kecuali kelak orang
Papua itu sendiri bangkit dan memimpin diri mereka sendiri”. ***
Source: www.swarapapua.com
@Makidi..!
0 comments:
Post a Comment