Aug 13, 2016

Ini Pesan: Jan Van Eechoud, Ir Soekarno dan Pdt. Is Kijne bagi Papuan


HOLLANDIA - Gubernur Van Eechoud ialah Bapak bagi orang Papua. Mengapa Eechoud disebut Bapak Papua? Karena Ia selain seorang gubernur Belanda untuk Papua, ia juga telah berhasil meletakkan dasar-dasar pembangunan bagi bangsa Papua. Lalu, dasar pembangunan apa yang diletakkan van Eechoud? Menurut de Boer (1852:227), van Eechoud datangkan berbagai ilmuwan untuk meneliti masyarakat Papua, baik budayanya, karakteristik tanah berserta alamnya, agar berdasarkan hasil penelitian itu dapat dibangun Papua menuju satu kemandirian. Jika tidak, maka kata Eechoud,  hasil pembangunan  akan selalu bermuara pada kekerasan.

Dalam bukunya: “Vergeten Aarde” (de Boer, 1952:227 dalam Quo Vadis Papua karya Freddy Numberi 2014:399), Van Eechoud mengatakan: “Waarheen Papua? Hij moet naar zijn toekomst geleid worden en daarvoor is nodig, dat wij weten welke omstandigheden en met welke krachten wij te maken krijgen; dat wij dus een studie maken van zijn gadachten en gevpelsleven. Zonder deze studie, die alleen vruht kan dragen als ze berust op een zekere idealistische interrese, is alle actie en alle plannen makerij nutteloos, ja, zelfs gevaarlijk, omdat zij slechts tot haos kan leiden”.

Menurut Van Eechoud,  orang Papua perlu dibimbing menuju masa depannya, dan untuk itu perlu mengetahui  keadaan-keaadan dan kekuatan-kekuatan yang akan kita hadapi; maka kita perlu melakukan studi untuk mempelajari pikiran-pikiran dan perasaan hati nurani mereka (orang Papua). Tanpa studi yang dilandasi suatu idealisme keberhasilan, maka semua tindakan serta segala rencana akan sia-sia, bahkan bisa menimbulkan bahaya karena hal ini dapat saja bermuara pada kekerasan.

Berdasarkan pernyataan ini, maka Eechoud ketika memimpin bumi Cenderawasih, ia telah mendatangkan berbagai ilmuwan dari berbagai jurusan untuk meneliti Papua. Salah satu contoh di pinggir bibir danau Paniai. Pada tahun 1939-1958, ia melantik antropolog JV de Bruijn untuk memimpin rakyat Paniai (Ndauwa, Nduga, Migani dan Ekagi).  Bruijn ialah seorang ilmuwan (antropolog) namun diberi jabatan Kepala Distrik. Sambil menjalankan roda pemerintahan, Bruijn melakukan berbagai penelitian dibidang antropologi budaya dan pemerintahan di wilayah itu.

Hasil dari berbagai penelitian yang dilakukan terhadap pola hidup di enam wilayah adat Papua (Domberai, Bomberai, Saireri, Meepago, Mamta, Laa Pago, dan Ha-Anim) maka, kemudian Belanda tidak bingun ketika menetapkan berbagai program dan kebijakan pembangunan. Sepertinya, ketika Indonesia merebut Irian Barat, murid-murid Indonesia yang pernah belajar di negeri Belanda, berbuat hal yang sama pada Belanda.

Van Eechoud juga pernah perintahkan putra-putra cerdas dari Papua yang tergabung dalam Dewan Suku-Suku untuk meneliti nama yang betul-betul menunjukan identitas masyarakat Papua yang berasal dari Sorong sampai merauke.  Karena menurutnya, nama Papua berasal dari bahasa Tidore yang mengandung arti Not Integrated atau tidak bergabung dengan anda (pigai, 2000:225). Rupanya, raja Tidore tujukan untuk Papua New Guinea sebagai bagian yang tidak tergabung dengan wilayah kekuasaannya. Batasnya ditancap di Tobati yang artinya, batasku.

Kemudian, mereka yang ditugaskan Eechoud diantaranya, Frans Kaisipo, Korinus Krey, Yan Waromi dkk mengusulkan nama Irian dari kampung Harapan Jayapura. Nama Irian disosialisasikan di konfrensi Malino, 16 Juli 1946. Dalam pidatonya, Kaisepo mengatakan, Irian mengandung arti Tanah yang disirami sinar pagi yang memanas (Rosihan Anwar dalam manuskrip buku Mapia, 2004). Sayangnya, nama ini divulgalisir oleh kaum Digulis (pro Indonesia) menjadi Ikut Republik Indonesia Anti Nederland (Pigai, 2000:96).

Dalam buku Mapia, nama Irian berasal dari bahasa sejumlah suku yang ada di Papua. Irian dalam bahasa Biak, iri artinya tanah, an artinya Panas, jadi Irian artinya tanah yang memanas. Dalam bahasa Serui, iri artinya tanah, an artinya bangsa jadi, Irian dalam bahasa Serui mengandung arti tiang bangsa atau tanah air. Dalam bahasa Merauke, iri artinya ditempatkan, diangkat tinggi dan an artinya bangsa, jadi Irian dalam bahasa Merauke artinya bangsa yang diangkat tinggi, bangsa yang dipuja-puji atau blessed people.  Sedangkan kata an yang dipakai dalam bahasa Biak, Serui dan Merauke ditemukan kesamaan kata dari bahasa-bahasa yang  ada di wilayah Mee-pago. Ann (Dani/Lani/Ndauwa, Nduga) artinya saya. Suku Mee menambah i menadi ani, artinya saya. Dari semua bahasa dari beberapa suku diatas, Irian disimpulkan mengandung arti, saya ini atau bangsa ini (dibentuk) dari (debu) tanah panas yang tinggi derajatnya dari makhluk hidup lain (karena memiliki akal budi).

Pengertian Irian di atas ini, sedikit mirip dengan pernyataan penciptakan yang dikisahkan dalam Kitab Genesis karya Nabi Musa, pasal 1 sampai dengan pasal 8. Dimana, manusia pertama itu diciptakan dengan debu panas, namun kemudian diusir dari taman Firdaus karena mengambil haluan independen. Memahami pasal Kejadian, maka ternyata dua manusia pertama tidak “berdialog” tentang apa yang diperintahkan Allah dengan apa yang dibujuk Setan. Keduanya tanpa timbang-timbang telah dirasuki kebutuhan badaniah, tanpa berpikir sesuatu yang lebih positif.

Seandainya, Taman Firdaus itu kemudian hari dinyatakan berada di wilayah Papua, dengan batas Timur Salomon Island, batas Selatan Benua Australia, Batas Barat berada di ujung Timur pulau Sulawesi dan Kepulauan Sumba, apakah yang diusir itu orang Kalimantan, Malasya, Jawa dan Sumatra? Sehingga kemudian hari mereka harus kembali ke negeri asalnya? Jawabannya silakan bertanya kepada pakar Arkeolog, Antropolog dan Geolog. Karena merekalah yang empunya data persebaran ras umat manusia.

Lalu, apa kata Soekarno tentang Papua? Dalam buku Quo Vadis Papua karya Freddy Numberi (2014:401), Soekarno mengatakan: “Saya akan jadikan orang Irian, Tuan di tanahnya sendiri, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Numberi melanjutkan di paragraf berikut, menjadi TUAN di atas tanah negerinya sendiri, itulah esensi dari janji yang diikarkan oleh Seokarno, sang proklamator Republik Indonesia. Di sini, kita teringat pada sebuah pesan profetis dengan nada, nafas dan jiwanya semakna dengan apa yang pernah dikatakan oleh Pendeta Izaak Samuel Kijne, sang pendidik dan pujangga besar orang Papua asal Belanda.

Kijne mengatakan: “Tiada seorang pandai dan berhikmat sekalipun yang dapat memimpin Papua kecuali kelak orang Papua itu sendiri bangkit dan memimpin diri mereka sendiri”.

Menurut Numberi di kalimat berikut, pernyataan Kijne ini jelas bukan perkataan seorang tokoh yang tidak mampu mengurus orang Papua, tetapi pernyataan ini lahir dari sebuah pergumulan dan kontemplasi panjang seorang Kijne dalam mendidik dan memahami karakter orang-orang Papua agar mandiri, maju dan berkembang dalam peradaban Injil.

Di kalimat berikutnya, Numberi membenarkan pernyataan IS Kijne.  Numberi menulis, semakin orang Papua bangkit dan memimpin dirinya sendiri, maka pengetahuan dan pengalaman mereka semakin bertambah serta bermartabat. Begitupun juga dengan kecerdasan, rasa percaya diri dan kepemimpinan. Semakin orang Papua terus membangun dirinya secara mandiri, maka mereka akan terus terasah menjadi arif dan bijaksana, dan akhirnya menjadi “Tuan di atas tanahnya sendiri”. Kata kunci terwujudnya pernyataan Kijne adalah “pendidikan, sebagai jendela dunia” dalam peradaban dunia modern dewasa ini.

Menyoal Papua memang rumit dan kompleks tetapi juga menyeluruh. Pemimpin redaksi TVOne dalam Acara Indonesia Lawyer Club membahas soal Papua dalam judul “Gonjang-Ganjing Papua”. Dalam acara itu hadir sejumlah tokoh dan pengalamat Papua. Diantaranya ialah Freddy Numberi, Barnabas Suebu, Theo Wanggai, Michael Manufandu, dll.

Ketika giliran Freddy Numberi, sempat diulas pernyataan Soekarno diatas. Kata Numberi, Soekarno pernah berjanji untuk menjadikan orang Papua tuan diatas tanahnya sendiri. Tetapi pendekatan pembangunan yang dibangun selama pemerintahan Orde Baru telah melukai Hati orang Papua. Dari tahun ke tahun, telah dibuat banyak operasi. Mulai dari operasi koteka hingga isu genosida yang sedang gencar di tanah Papua.

“Whats wrong”, Numberi bertanya.

Presiden Pertama RI Ir Soekarno dan Penggantinya, Soeharto. (Foto: http://indocropcircles.wordpress.com/2013/05/29/bongkar-konspirasi-antara-sukarno-suharto-dan-freeport/)
Menurut Numberi (2014, 398), isu Papua merdeka itu dilahirkan oleh Presiden pertama RI Ir Soekarno. Pada tahun 1948, Soekarno terbitkan Undang-Undang Nomor 22 1948 tentang Provinsi Irian Barat yang berkedudukan sementara di Soasiu Pulau Tidore. Tetapi dengan adanya Trikora pada tanggal 19 Desember 1960, maka Soekarno sendirilah yang menyebut “Negara Papua”.  Pernyataan Bung Karno dalam Trikora berbunyi “Bubarkan Negara Boneka Papua Buatan Belanda”. Inilah yang menjadi dasar polemik hingga menelan korban jiwa yang tidak sedikit di tanah Papua.


Numberi juga masih mengutip pernyataan Pendeta I.S. Kijne sebelum meninggalkan Papua di pelabuhan Serui, 1958: “Di Tanah ini (Papua) kita dapat memegang kemudi, tetapi bukan kita yang menentukan angin dan arusnya”. Kijne juga pernah mengatakan:  “Tiada seorang pandai dan berhikmat sekalipun yang dapat memimpin Papua kecuali kelak orang Papua itu sendiri bangkit dan memimpin diri mereka sendiri”. ***




@Makidi..!

0 comments:

Post a Comment