Mar 30, 2017

Memanusiakan Manusia Dengan Ko Pu Sikap

Foto:rasserie-expo.co.id/Ilustrasi
Baru tiba dari Nabire, saya diajak jalan-jalan oleh seorang kakak mahasiswa dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Port Numbay, Jayapura berkaitan tata-berkelolah di bidang keuangan dengan crew-crew media online Kabarmapegaa.com, saya dapat inspirasi, atau suasana hati yang menjiwai saya secara mendalam lagi seperti sejagat sering disebut “re-mood”. Sore itu saya dengan kak menuju agenda meeting terkait finansial tersebut itu, mereka dititlelkan (credit union) di mall saga, Abepura Papua bersama jajaran direksi dari kabarmapegaa.com.Tong bisa dibilang meeting penting yang harusnya saya fokus menyimak. Tapi entah kenapa saya jadi gagal fokus, seharusnya saya menyimak/mendengarkan klien dan pimpinan kabarmapegaa.com apa lagi saya adalah seorang pra-mahasiswa baru, tiba juga pagi hari sorenya ikut kak dong meeting namun ujung mata saya bergerak mengamati ke arah lain. Fokus saya malah ke meja lain yang dimana mereka juga meeting sama seperti kami tapi dong dari suatu perusahan tertentu tidak kayak kami pakaiannya yang serba biasa tapi rapi. Saya tidak mengulas apa yang dibicarakan oleh segenap kru kabarmapegaa.com, tapi akan saya ulas ini adalah seorang mace yang waktu itu ikut bersama majikan keluarganya.

Saya mangamati mace muda berkaos kuning yang mungkin usianya belum genap 20 tahun. Saya sudah mulai perhatikan dari dia masuk sampai kami selesai meeting meninggalkan mall saga itu. Mace muda itu masuk berjalan perlahan dibelakang seorang Ibu dan keluarganya berpakaian dress putih berbunga-bunga rapih lagi. Lalu mereka berjalan menghampiri meja di sudut setempat kami berada yang sudah duluan di order satu keluarga kecil. Tampilan mace itu seperti asisten rumah tangga. Kaos kuning, celana pendek rumahan dan sendal jepit. Lalu apa yang keliruh? tra ada yang salah to. Cuma saya ingin sharing saja apa yang saya lihat, siapa tahu bisa jadi pelajaran untuk sa dan ko yang baca tulisan ini.

Pertama, pakaian yg digunakan wanita tersebut. Menurut saya tidak wajar, sekalipun dia hanya pembantu, atau yang penjaga orangtua atau anak-anak kamu, harusnya bisa dong diarahkan memakai pakaian layak untuk masuk ke mall sebesar itu atau cafe sekelas middle up. Walau mace tersebut tidak bisa bilang, tapi pasti dari dalam hatinya dia malu berada di café/mall yang isinya orang-orang berpakaian rapih dan bagus. Bahkan bisa saja dia merasa disudutkan jika berpapasan dengan mata orang orang yang melihat penampilan dia. Sebenarnya kalo orang lain melihat kondisi seperti ini bukan pembantu kamu yang di judge, tapi kamu sebagai majikannya. Iyo to?

Kedua, sesampai di meja itu, mace tersebut tidak langsung dikasih bangku tapi dibiarkan berdiri saja dan keluarga tersebut malah asyik ngobrol tanpa berusaha mencarikan bangku tambahan. Mungkin karena kapasitas sofa yang mereka duduk itu penuh. Kira-kira 20 menit mace tersebut berdiri hingga waitress mengantarkan bangku tambahan. Setelah duduk, belanjaan di drop ke pangkuan wanita tersebut.

Ketiga, waktu itu kalo tidak salah, saya melihat anak kecil dari keluarga itu langsung minta pindah tempat duduk saat mace tersebut duduk disebelah kanan nya. Mungkin karena keberatan bersebelahan. Semoga saja saya salah. Tapi salah atau benar dugaan saya, saya cuma mau advise, sejak kecil didiklah anak anak untuk menghargai orang lain apapun latar belakangnya. entah itu, pembantu, sopir, tukang kebun, orang gila, pengamen, pengemis, babysitter dan lain lain. Jangan hanya sibuk di membantu menyekolahkan informal/nonformal (kursus) beribu ilmu dan talenta tapi soal attitude minus.

Soal hal ketiga ini saya jadi ingat didikan orangtua saya. Sebenarnya bukan soal rumah mewah/besar namun dikarenakan kebutuhan. Ketika kedua orangtua saya sibuk bekerja sejak saya kecil maka di rumah ada yang jaga dan bantu bantu atau bisa dibilang asisten rumah tangga yang kami panggil kakak. Ibu saya selalu menyuruh anak-anaknya panggil kakak ke siapapun yang bantu bantu di rumah. Waktu saya sudah beranjak SD ke SMP, di rumah masih ada yang bantu-bantu karena pada saat itu adik saya masih kecil dan perlu dijaga, saya selalu dipaksa mencuci piring sendiri sehabis makan dan jangan asal meletakan pakaian kotor biarpun ada kakak yang bantu bantu. Bahkan untuk membersihkan kamar mandi saja diberikan jadwal gantian ke anak anaknya tiap minggu. Walau dulu saya masih suka menggerutu. Tapi ternyata itu awal dari pembelajaran.

Saya juga melihat menu makanan yang diberikan di rumah oleh ibu saya tidak ada perbedaan tudung saji dengan yang diberikan ke kakak yang bantu bantu di rumah (setara). Jika kami makan ikan, dia pun makan ikan. Jika kami makan ayam dia pun makan ayam. Bahkan orangtua saya jika membeli baju ke anak anaknya, kakak itu pun dibelikan. Jika kami jalan jalan ke pasar kakak itu pun ikut. Jika kami makan di warung kakak itu pun ikut makan bersama. Tidak heran dari dulu banyak yang awet tinggal di rumah untuk bantu bantu. Bahkan bukan hanya soal asisten rumah tangga, tapi juga soal menghargai orang yang sudah gila. Waktu itu ada orang gila ibu-ibu tua yang beda komplek dengan rumah kami, ketika kami lewat dengan mobil, ibu-ibu itu suka menyanyi nyanyi dan tertawa sendiri di pinggir jalan. Hampir setiap hari. Waktu itu saya ketawa lihat tingkahnya kok bisa begitu dibiarkan, tanya saya, Lalu ibu saya bilang tra boleh begitu, nanti antarkan ubi di rumah dia ya. Ternyata ibu saya juga sering mengantarkan makanan ke ibu tua itu. Semestinya mereka juga ingin apa yang kami dirasakan kesempatan yang sama, jangan dilihat hanya karena seharurnya saya dikasih gaji setiap bulan, manusia adalah punya plus pikiran dari yang lainnya. Kembali lagi tentang mace kuning tersebut.

Keempat, setelah wanita tersebut duduk sejak kami meeting sampai meninggalkan cafe (45 menit) tidak ada sama sekali menu yang ditawarkan keluarga itu ke mace tersebut. Alhasil wanita itu hanya bisa memperhatikan meja lain, mengamati orang-orang yang sibuk makan dan tertawa di cafe itu, sambil dipegang kantong belanjaan. *Kidani iyo kike beu?-(oh tidak, siapa yang diwariskan hal seperti ini), frasa Bahasa Mee-Paniai. Ada orang yang bisa masuk ke cafe kelas middle up tapi beri segelas minuman/sepiring makanan saja untuk asistant tidak mampu?  Kalo kamu berat tuk belihkan dia sesuatu, kenapa jadikan dia sebagai penyemangat ko? Stop sudah jadi kurang ajar.

Akhirnya, melalui kisah di atas saya bukan mau memojokan siapa siapa, hanya berbagi cerita untuk melihat sebagian kecil realita orang jaman sekarang yang pola pikirnya sudah terbolak-balik. Sulitnya minta ampun tuk memanusiakan manusia lain, tapi sangat mudah memanusiakan hewan peliharaan. Barangkali mace kaos kuning tersebut masa depannya cerah dan harapan juga nanti, jika saya sudah punya uang segudang dan sudah saatnya butuh asistant rumah tangga, saya bisa mengingat hal ini melalui tulisan saya. dan semoga tidak terjadi hal serupa lagi. Amanai!

Catatan: 

Ko                 : kamu
Tong              : kita/kami
Dong             : mereka
Mace             : wanita
Amanai         : selamat (Bahasa mee)

*Kidani iyo kike beu?-(sesuatu yang dianggap tidak bernilai, siapa yang diwariskan hal seperti ini), frasa Bahasa Mee-Paniai. 

0 comments:

Post a Comment