Oleh: Silvester Watagaiye Kadepa.
Pendidikan
adalah jembatan bagi manusia dalam membentuk karakter yang lebih kokoh dan
pandai, dari tidak tahu menjadi tahu maka olehnya itu penulis mengajak kita
kepada para pembaca bahwa sistim-sistim yang sedang terjadi di indonesia dalam
bidang pendidikan ini perlu kita mengetahui dan membenahi secara bersama-sama.
OPINI
(KA) - Berbicara soal pendidikan, didalamnya tidak terlepas dari peran dan
tanggung jawab pemerintah terhadap peningkatan kualitas SDM di papua termasuk
juga peranan masyarakat sebagai pelaku utama pendidikan.
Kesadaran
masyarakat bahwa pendidikan bukan sekedar formalitas belaka namun mengerti dan
memahami dengan benar bagaimana berinvestasi pada pendidikan. Peranan
pemerintah melalui kebijakan-kebijakan pendidikan tidak akan maksimal tanpa
partisipasi masyarakat didalamnya, mengingat adanya pemikiran yang berkembang
di kalangan masyarakat untuk investasi didunia kerja (bekerja atau lainnya)
daripada investasi pendidikan. Mungkin masih dapat diterima jika mengacu pada
masyarakat yang kurang mampu berpendidikan di Papua (Education’s not power in Papua
island), Sistem Pendidikan Di papua.
Seperti
apakah pendapat Anda tentang Education in Papua?
Mari
kita ketahui bagimana sistem pendidkian (the system education in Papua) atau
pendidikan di Papua adalah tanggung jawab dari pemerintah daerah Papua,
sebelumnya adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Papua. Sistem pendidikan
di Papua yang di programkan oleh pemerintah daerah adalah semua warga negara
harus melakukan atau menempuh setidaknya enam belas tahun wajib luangkan, di
mulai enam tahun pada tingkat SD, tiga tahun di tingakat SMP, tiga tahun di tingkat
SMA/SMK dan empat tahun di tingkat PT/KULIAH. Pendidikan sendiri telah
didefinisikan sebagai sebuah upaya yang direncanakan untuk mendirikan suatu
lingkungan belajar dan proses kegiatan pendidikan sehingga siswa secara aktif
dapat mengembangkan/potensinya yang ada pada dirinya sendiri untuk mendapatkan
tingkat religius dan spiritual, kesadaran, kepribadian, kecerdasan, perilaku
dan kreativitas untuk dirinya sendiri, sebagai warga negara dan untuk bangsa.
Konstitusi juga telah mencatat kalau pendidikan di Papua secara garis besar
telah dibagi menjadi dua bagian yaitu pendidikan formal dan non-formal.
Selanjutnya,
pendidikan formal juga masih dibagi lagi menjadi tiga level yaitu, tingkat primer,
sekunder, dan pendidikan tinggi. Sekolah-sekolah yang ada di tanah Papua
dijalankan baik oleh pemerintah (negeri) dan pribadi (swasta). Beberapa sekolah
dari swasta menyebut diri mereka sebagai "sekolah nasional plus" yang
berarti bahwa mereka melampaui ketentuan minimum pemerintah, terutama dalam
kaitannya dengan penggunaan kurikulum bahasa Inggris atau internasional di
samping kurikulum nasional. Banyak sudah kita dengarkan saran dan kritik untuk
mengatasi persoalan pada sistem pendidikan kita. Akan tetapi seiring
berjalannya waktu, topik-topik tersebut mengalami ketidakpastian dalam
pengaplikasiannya. Tampaknya kita berputar-putar dalam lingkaran dan maju
secara perlahan jika kata “kemandekan” atau “kegagalan” terlalu vulgar untuk
diutarakan.
Pemerintah
dan organisasi pendidikan di Papua terlalu sibuk dengan sistem informasi
manageman, analisis finansial, angka kelulusan dan data-data kuantitatif
lainnya sehingga terpisah jauh dari jantung pendidikan itu sendiri. Dalam
beberapa tahun terakhir ini. Devaluasi standart kualitas pendidikan tidak hanya
melanda organisasi pendidikan saja, tetapi telah merusak sistem pendidikan kita
di Papua kuranya perbedaan kurikulum contoh perbedaan kurikulum KTSP kallau di
luar Papua mengajar secara searah pas-pasan degan standar pada tahun 2016 kalau
kami di Papua beda jauh luar Papua menerima ilmu kurikulum baru 2016 kalau kami
di Papua belajar kurikulum 2013 inilah telah merusak sistem pendidikan di Papua.
Bukti
nyata dari gejala-gejala ketidakefektifan pendidikan di tanah Papua adalah banyaknya
penggangguran di Indonesia termasuk “produk-produk gagal” bertitle S1 meskipun
hal ini tidak terlepas dari dampak krisis ekonomi dunia tapi setidaknya
indikasi bahwa produk pendidikan kita belum siap berhadapan dengan kerasnya
globalisasi dan persaingan didunia luar.
Data
statistik yang banyak dilansir media-media yang beredar memang menyebutkan
bahwa tingkat penggangguran di Papua telah mengalami penurunan, dilihat dari
tingkat pertumbuhan ekonomi Papua yang semakin membaik.
Tapi
realita di lapangan masih menyisakan keprihatinan tersendiri. Bagaimana tidak,
masih banyak pekerjaan yang tidak layak disebut pekerjaan seperti pemecah batu,
penambang pasir hingga pekerja seks komersial (PKS) yang mengkomersilkan diri
(mungkin hal semacam ini dimasukan oleh organisasi-organisasi yang melakukan
survey sehingga data statistik pertumbuhan ekonomi kita mengalami peningkatan).
Meskipun variabel-variabel tersebut tidak dapat dipakai sebagai patokan utama
penilaian keberhasilan atau kegagalan pendidikan di Papua. Setidaknya saya
selalu berpendapat bahwa kemiskinan itu identik dengan kebodohan. Dan jika
masyarakat kita masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, saya dengan mudah
menyimpulkan bahwa pendidikan kita mengalami kegagalan.
Yang
jelas kualitas pendidikan kita akan selalu menjadi tanda tanya besar di masa
yang akan datang. Sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan, jika ada
yang mengatakan bahwa tidak perlu UN karena yang mengetahui karakteristik siswa
di sekolah adalah guru, pernyataan tersebut betul sekali, namun pada
kenyataannya di lapangan, sering kali saya lihat nilai raport yang
dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi
nilainya dengan berbagai macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru
tersebut berhasil dalam mengajar, karena tidak boleh ada nilai 4 atau 5 di
raport dan lain sebagainya.
Mengapa
guru bersikap demikian, mengapa nilai siswa-siswa banyak yang belum tuntas,
salahkah guru?
Jawabannya
bisa ya bisa tidak, bisa ya karena mungkin guru tersebut tidak memiliki
kompetensi mengajar yang memadai, bisa tidak, karena sistem pendidikan Papua
mengharuskan siswa mempelajari bidang studi yang terlalu banyak. Rata-rata
bidang studi yang harus mereka pelajari selama satu tahun pelajaran adalah 16
bidang studi, dengan materi untuk tiap bidang studi juga banyak, abstrak dan
tidak sesuai dengan kebutuhan siswa. Sistem pendidikan kita terlalu memaksa
anak untuk dapat menguasai sekian banyak bidang studi dengan materi yang sedemikian
abstrak, yang selanjutnya membuat anak merasa tertekan/stres yang dampaknya
membuat mereka suka bolos, bosan sekolah, tawuran, mencontek, dan lain-lain.
Yang
pada akhirnya mereka tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik, nilai mereka
kurang padahal sudah dilakukan remidi, dan supaya dianggap bisa mengajar atau
karena tidak boleh ada nilai kurang atau karena kasihan beban pelajaran siswa
terlalu banyak, kemudian guru melakukan manipulasi nilai raport. Nilai raport
inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh beasiswa atau melanjutkan
kuliah atau ikut PMDK dan lain sebagainya.
Tahukah
siswa akan kenyataan pahit ini? Lalu apakah UN solusi untuk melihat kemampuan
siswa? Bukan, karena UN tidak adil, bahwa kemampuan siswa tidak dapat
distandardisasi. Beberapa tahun terakhir ini, beberapa teman mulai menerapkan
home schooling pada anak-anak mereka, seorang teman melakukannya karena
permintaan putranya yang berusia 14 tahun, karena si anak merasa sekolah
membosankan, menghabiskan waktu dan tidak dapat menjawab semua
pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya, tidak sesuai dengan apa yang
dibutuhkannya, oleh karenanya dia memutuskan untuk tidak bersekolah, dia lebih
tertarik tenggelam dalam buku-buku bacaannya. Bersyukurlah si anak karena dia
memiliki orang tua yang bisa mengerti bahwa sekolah bukan satu-satunya jalan
untuk mencerdaskan anaknya.
Menarik
rasanya membaca tulisan Roem ini: "Tak kurang dua belas tahun waktu
diselesaikan untuk bersekolah. Masa yang relatif panjang dan menjemukan, jika sekedar
mengisinya dengan duduk, mencatat, sesekali bermain dan yang penting
mendengarkan guru ceramah di depan meja kelas. Lewat sekolah orang bisa meraih
jabatan sekaligus mendapat cemooh. Ringkasnya sekolah mampu mencetak manusia
menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih pantaskah sekolah untuk mengakui
peran tunggalnya dalam mencerdaskan seseorang". Ternyata banyak pilihan
yang bisa dilakukan oleh seorang siswa, terlepas apakah orang tua bisa mengerti
ataupun tidak keinginan putra-putrinya.
Tidak
bersekolah memang keputusan yang sangat berat, berbagai macam keberatan akan
muncul, bagaimana dengan diskusi, bagaimana dengan penyamaan persepsi terhadap
suatu permasalahan, jika tidak bersekolah, bagaimana dapat menemukan lingkungan
yang kondusif untuk belajar, atau yang lebih umum, karena bangsa kita adalah
bangsa yang gila gengsi dan gelar, bagaimana dengan pekerjaan, jika tidak punya
gelar. Puih inilah yang paling menjijikan, sekolah hanya untuk mencari gelar?
Jika memang tetap sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk
mencerdaskan seseorang, maka sistem pendidikan Papua harus diubah, tidak boleh
memaksakan siswa, kurikulum disesuaikan dengan kompetensi dasar masing-masing pada
siswa, bidang studi yang diajarkan tidak terlalu banyak dan materi untuk tiap
bidang studi disesuaikan dengan perkembangan siswa. Seperti fasilitas
pendidikan dan kesejahteraan guru mestinya ikut ditingkatkan.
Subsidi
pendidikan diperbesar, pungutan dan pemotongan dana dan lain-lain dihapuskan.
Bagi siswa yang berani mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahnya,
yang menyadari bahwa UN bukan segala-galanya, yang menyadari bahwa belajar bisa
dimana saja sesuai dengan keinginan, minat dan kebutuhannya, salut buat mereka,
percayalah gelar bukan jaminan keberhasilan seseorang. Banyak sarjana
menganggur, belum menyadari apa keinginan dan minat mereka, karena selama ini
disadari atau tidak mereka telah dijadikan robot sistem pendidikan di Papua. Munikigiba.
Penulis
adalah mahasiswa Papua sedang kuliah di Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment