Nov 14, 2016

Perbedaan Sistem Pendidikan dI Papua dan Luar Papua


Oleh: Silvester Watagaiye Kadepa.

Pendidikan adalah jembatan bagi manusia dalam membentuk karakter yang lebih kokoh dan pandai, dari tidak tahu menjadi tahu maka olehnya itu penulis mengajak kita kepada para pembaca bahwa sistim-sistim yang sedang terjadi di indonesia dalam bidang pendidikan ini perlu kita mengetahui dan membenahi secara bersama-sama.

OPINI (KA) - Berbicara soal pendidikan, didalamnya tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab pemerintah terhadap peningkatan kualitas SDM di papua termasuk juga peranan masyarakat sebagai pelaku utama pendidikan.

Kesadaran masyarakat bahwa pendidikan bukan sekedar formalitas belaka namun mengerti dan memahami dengan benar bagaimana berinvestasi pada pendidikan. Peranan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan pendidikan tidak akan maksimal tanpa partisipasi masyarakat didalamnya, mengingat adanya pemikiran yang berkembang di kalangan masyarakat untuk investasi didunia kerja (bekerja atau lainnya) daripada investasi pendidikan. Mungkin masih dapat diterima jika mengacu pada masyarakat yang kurang mampu berpendidikan di Papua (Education’s not power in Papua island), Sistem Pendidikan Di papua.

Seperti apakah pendapat Anda tentang Education in Papua?

Mari kita ketahui bagimana sistem pendidkian (the system education in Papua) atau pendidikan di Papua adalah tanggung jawab dari pemerintah daerah Papua, sebelumnya adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Papua. Sistem pendidikan di Papua yang di programkan oleh pemerintah daerah adalah semua warga negara harus melakukan atau menempuh setidaknya enam belas tahun wajib luangkan, di mulai enam tahun pada tingkat SD, tiga tahun di tingakat SMP, tiga tahun di tingkat SMA/SMK dan empat tahun di tingkat PT/KULIAH. Pendidikan sendiri telah didefinisikan sebagai sebuah upaya yang direncanakan untuk mendirikan suatu lingkungan belajar dan proses kegiatan pendidikan sehingga siswa secara aktif dapat mengembangkan/potensinya yang ada pada dirinya sendiri untuk mendapatkan tingkat religius dan spiritual, kesadaran, kepribadian, kecerdasan, perilaku dan kreativitas untuk dirinya sendiri, sebagai warga negara dan untuk bangsa. Konstitusi juga telah mencatat kalau pendidikan di Papua secara garis besar telah dibagi menjadi dua bagian yaitu pendidikan formal dan non-formal.

Selanjutnya, pendidikan formal juga masih dibagi lagi menjadi tiga level yaitu, tingkat primer, sekunder, dan pendidikan tinggi. Sekolah-sekolah yang ada di tanah Papua dijalankan baik oleh pemerintah (negeri) dan pribadi (swasta). Beberapa sekolah dari swasta menyebut diri mereka sebagai "sekolah nasional plus" yang berarti bahwa mereka melampaui ketentuan minimum pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan penggunaan kurikulum bahasa Inggris atau internasional di samping kurikulum nasional. Banyak sudah kita dengarkan saran dan kritik untuk mengatasi persoalan pada sistem pendidikan kita. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, topik-topik tersebut mengalami ketidakpastian dalam pengaplikasiannya. Tampaknya kita berputar-putar dalam lingkaran dan maju secara perlahan jika kata “kemandekan” atau “kegagalan” terlalu vulgar untuk diutarakan.

Pemerintah dan organisasi pendidikan di Papua terlalu sibuk dengan sistem informasi manageman, analisis finansial, angka kelulusan dan data-data kuantitatif lainnya sehingga terpisah jauh dari jantung pendidikan itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir ini. Devaluasi standart kualitas pendidikan tidak hanya melanda organisasi pendidikan saja, tetapi telah merusak sistem pendidikan kita di Papua kuranya perbedaan kurikulum contoh perbedaan kurikulum KTSP kallau di luar Papua mengajar secara searah pas-pasan degan standar pada tahun 2016 kalau kami di Papua beda jauh luar Papua menerima ilmu kurikulum baru 2016 kalau kami di Papua belajar kurikulum 2013 inilah telah merusak sistem pendidikan di Papua.

Bukti nyata dari gejala-gejala ketidakefektifan pendidikan di tanah Papua adalah banyaknya penggangguran di Indonesia termasuk “produk-produk gagal” bertitle S1 meskipun hal ini tidak terlepas dari dampak krisis ekonomi dunia tapi setidaknya indikasi bahwa produk pendidikan kita belum siap berhadapan dengan kerasnya globalisasi dan persaingan didunia luar.

Data statistik yang banyak dilansir media-media yang beredar memang menyebutkan bahwa tingkat penggangguran di Papua telah mengalami penurunan, dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi Papua yang semakin membaik.

Tapi realita di lapangan masih menyisakan keprihatinan tersendiri. Bagaimana tidak, masih banyak pekerjaan yang tidak layak disebut pekerjaan seperti pemecah batu, penambang pasir hingga pekerja seks komersial (PKS) yang mengkomersilkan diri (mungkin hal semacam ini dimasukan oleh organisasi-organisasi yang melakukan survey sehingga data statistik pertumbuhan ekonomi kita mengalami peningkatan). Meskipun variabel-variabel tersebut tidak dapat dipakai sebagai patokan utama penilaian keberhasilan atau kegagalan pendidikan di Papua. Setidaknya saya selalu berpendapat bahwa kemiskinan itu identik dengan kebodohan. Dan jika masyarakat kita masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, saya dengan mudah menyimpulkan bahwa pendidikan kita mengalami kegagalan.

Yang jelas kualitas pendidikan kita akan selalu menjadi tanda tanya besar di masa yang akan datang. Sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan, jika ada yang mengatakan bahwa tidak perlu UN karena yang mengetahui karakteristik siswa di sekolah adalah guru, pernyataan tersebut betul sekali, namun pada kenyataannya di lapangan, sering kali saya lihat nilai raport yang dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi nilainya dengan berbagai macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru tersebut berhasil dalam mengajar, karena tidak boleh ada nilai 4 atau 5 di raport dan lain sebagainya.

Mengapa guru bersikap demikian, mengapa nilai siswa-siswa banyak yang belum tuntas, salahkah guru?

Jawabannya bisa ya bisa tidak, bisa ya karena mungkin guru tersebut tidak memiliki kompetensi mengajar yang memadai, bisa tidak, karena sistem pendidikan Papua mengharuskan siswa mempelajari bidang studi yang terlalu banyak. Rata-rata bidang studi yang harus mereka pelajari selama satu tahun pelajaran adalah 16 bidang studi, dengan materi untuk tiap bidang studi juga banyak, abstrak dan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa. Sistem pendidikan kita terlalu memaksa anak untuk dapat menguasai sekian banyak bidang studi dengan materi yang sedemikian abstrak, yang selanjutnya membuat anak merasa tertekan/stres yang dampaknya membuat mereka suka bolos, bosan sekolah, tawuran, mencontek, dan lain-lain.

Yang pada akhirnya mereka tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik, nilai mereka kurang padahal sudah dilakukan remidi, dan supaya dianggap bisa mengajar atau karena tidak boleh ada nilai kurang atau karena kasihan beban pelajaran siswa terlalu banyak, kemudian guru melakukan manipulasi nilai raport. Nilai raport inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh beasiswa atau melanjutkan kuliah atau ikut PMDK dan lain sebagainya.

Tahukah siswa akan kenyataan pahit ini? Lalu apakah UN solusi untuk melihat kemampuan siswa? Bukan, karena UN tidak adil, bahwa kemampuan siswa tidak dapat distandardisasi. Beberapa tahun terakhir ini, beberapa teman mulai menerapkan home schooling pada anak-anak mereka, seorang teman melakukannya karena permintaan putranya yang berusia 14 tahun, karena si anak merasa sekolah membosankan, menghabiskan waktu dan tidak dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya, tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, oleh karenanya dia memutuskan untuk tidak bersekolah, dia lebih tertarik tenggelam dalam buku-buku bacaannya. Bersyukurlah si anak karena dia memiliki orang tua yang bisa mengerti bahwa sekolah bukan satu-satunya jalan untuk mencerdaskan anaknya.

Menarik rasanya membaca tulisan Roem ini: "Tak kurang dua belas tahun waktu diselesaikan untuk bersekolah. Masa yang relatif panjang dan menjemukan, jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat, sesekali bermain dan yang penting mendengarkan guru ceramah di depan meja kelas. Lewat sekolah orang bisa meraih jabatan sekaligus mendapat cemooh. Ringkasnya sekolah mampu mencetak manusia menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih pantaskah sekolah untuk mengakui peran tunggalnya dalam mencerdaskan seseorang". Ternyata banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh seorang siswa, terlepas apakah orang tua bisa mengerti ataupun tidak keinginan putra-putrinya.

Tidak bersekolah memang keputusan yang sangat berat, berbagai macam keberatan akan muncul, bagaimana dengan diskusi, bagaimana dengan penyamaan persepsi terhadap suatu permasalahan, jika tidak bersekolah, bagaimana dapat menemukan lingkungan yang kondusif untuk belajar, atau yang lebih umum, karena bangsa kita adalah bangsa yang gila gengsi dan gelar, bagaimana dengan pekerjaan, jika tidak punya gelar. Puih inilah yang paling menjijikan, sekolah hanya untuk mencari gelar? Jika memang tetap sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan seseorang, maka sistem pendidikan Papua harus diubah, tidak boleh memaksakan siswa, kurikulum disesuaikan dengan kompetensi dasar masing-masing pada siswa, bidang studi yang diajarkan tidak terlalu banyak dan materi untuk tiap bidang studi disesuaikan dengan perkembangan siswa. Seperti fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru mestinya ikut ditingkatkan.

Subsidi pendidikan diperbesar, pungutan dan pemotongan dana dan lain-lain dihapuskan. Bagi siswa yang berani mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, yang menyadari bahwa UN bukan segala-galanya, yang menyadari bahwa belajar bisa dimana saja sesuai dengan keinginan, minat dan kebutuhannya, salut buat mereka, percayalah gelar bukan jaminan keberhasilan seseorang. Banyak sarjana menganggur, belum menyadari apa keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau tidak mereka telah dijadikan robot sistem pendidikan di Papua. Munikigiba.

Penulis adalah mahasiswa Papua sedang kuliah di Yogyakarta.


0 comments:

Post a Comment