Ilustrasi. Sumber: odyssey.com |
What's on your mind (Apa yang ada dalam
pikiran Anda?) demikian Facebook menyapa kepada para penggunanya yang
berjumlah kurang lebih 1,8 miliar.
like this |
Pertanyaan seperti ini pula
yang diajukan para psikolog ketika memulai konsultasi dengan para relasi. Secara
naluriah kita juga mengajukan pertanyaan serupa kepada kawan atau anggota
keluarga yang sepertinya sedang memiliki masalah.
Kegiatan kita di media sosial
bisa mengungkap kondisi kejiwaan dan tak mengherankan jika para ahli sekarang
juga mencermati status, catatan, dan bahkan apa saja yang kita bagikan di media
sosial untuk menganalisa kondisi mental kita.
Kajian terhadap 667 pengguna
Facebook di Amerika Serikat menunjukkan orang-orang yang ekstrover (orang terang-terangan ekspresif.) cenderung
menulis pesan atau mengunggah hal-hal yang terkait aktivitas sosial dan
kehidupan sehari-hari dan mereka ini melakukannya relatif sering-sering.
Orang-orang yang punya
kepercayaan diri yang rendah biasanya mem-posting pacar atau pasangan yang
romantis, sementara yang terkena narsisime lebih sering memamerkan keberhasilan
mereka.
Atau memamerkan diet atau
kegiatan mereka untuk menurunkan berat badan.
Kajian lain memperlihatkan
orang-orang yang banyak mengunggah selfie biasanya lebih narsisistik dan
psikopatik dan mereka yang memoles foto secara digital boleh jadi punya
kepercayaan diri yang sedikit.
Media sosial sebagai pengobatan?
Pernah marah-marah dan
melampiaskan emosi/emoji di Facebook, Twitter dan Medsos lainnya dengan harapan tindakan ini bisa
meredakan suasana hati? Mungkin Anda mengira
mengeluarkan kemarahan di media sosial akan membantu menenangkan kondisi
mental, namun para ahli di Meksiko memperingatkan media sosial bukan terapi
atas persoalan kejiwaan.
Para ahli memantau twit
untuk mengetahui para pengguna yang mungkin akan melalukan bunuh diri.
Artinya, Anda harus
memikirkan kemungkinan bahwa mengomel di Facebook atau Twitter mungkin saja
akan membuat suasana hati Anda lebih parah lagi.
Tapi kemarahan di media
sosial juga punya sisi positif.
Para peneliti di Australia
menelusuri cuitan untuk 'memindai orang-orang yang berisiko' melakukan bunuh
diri, seperti yang dilakukan akademisi Helen Christensen.
Ia dan timnya dengan
menggunakan program khusus memantau twit dan menggolongkan cuitan mana saja
yang memerlukan perhatian khusus, misalnya dengan memberitahukan risiko bunuh
diri kepada keluarga, dokter, atau psikolog.
Di internet juga sudah
banyak muncul komunitas online yang memantau posting yang dinilai
mengisyaratkan kemungkinan seseorang melakukan bunuh diri dan komunitas ini
kemudian menawarkan bantuan kepada yang bersangkutan.
Para peneliti tidak hanya
memantau aktivitas di media sosial, bahkan ketika tiba-tiba ada yang
'menghilang dari jagad media sosial' para ahli bisa menyimpulkan bahwa
seseorang sedang atau tengah mengalami depresi.
Girang dan sedih
Hal lain yang dilakukan para
pakar adalah mengukur kebahagiaan dengan memantau twit berbagai bahasa,
termasuk bahasa Inggris, Prancis, Arab, dan bahasa Indonesia.
Ini dilakukan oleh tim
peneliti yang tergabung di Hedonometer Project yang menggunakan aneka teks dari
Twitter, surat kabar, Google Books, dan bahkan judul film untuk mendapatkan
suasana hati pemakai media sosial.
Mereka mengumpulkan 10.000
kata yang paling banyak dipakai dan kemudian menilai tiap kata berdasarkan
skala positif-negatif.
Tim di proyek tersebut
sekarang memakai pendekatan ini untuk menganalisis tingkat kebahagiaan pengguna
Twitter. Mereka juga menganalisis bagaimana kebahagiaan atau kepuasaan terkait
dengan faktor lain seperti status sosial ekonomi, geografi, dan demografi.
Jadi, apa yang kita baca dan
bagikan di media sosial tanpa kita sadari sebenarnya adalah pintu masuk
tentang apa yang sebenarnya ada di dalam hati dan benak kita
Artikel asli dalam. Artikel ini ditulis dari berbagai sumber.
0 comments:
Post a Comment