Nov 12, 2016

Menjelajahi di Facebook Bisa Mengungkap Kondisi Kejiwaan Kita

Ilustrasi. Sumber: odyssey.com

What's on your mind (Apa yang ada dalam pikiran Anda?) demikian  Facebook menyapa kepada para penggunanya yang berjumlah kurang lebih 1,8 miliar.

like this

Pertanyaan seperti ini pula yang diajukan para psikolog ketika memulai konsultasi dengan para relasi. Secara naluriah kita juga mengajukan pertanyaan serupa kepada kawan atau anggota keluarga yang sepertinya sedang memiliki masalah.

Kegiatan kita di media sosial bisa mengungkap kondisi kejiwaan dan tak mengherankan jika para ahli sekarang juga mencermati status, catatan, dan bahkan apa saja yang kita bagikan di media sosial untuk menganalisa kondisi mental kita.

Kajian terhadap 667 pengguna Facebook di Amerika Serikat menunjukkan orang-orang yang ekstrover (orang terang-terangan ekspresif.) cenderung menulis pesan atau mengunggah hal-hal yang terkait aktivitas sosial dan kehidupan sehari-hari dan mereka ini melakukannya relatif sering-sering.

Orang-orang yang punya kepercayaan diri yang rendah biasanya mem-posting pacar atau pasangan yang romantis, sementara yang terkena narsisime lebih sering memamerkan keberhasilan mereka.

Atau memamerkan diet atau kegiatan mereka untuk menurunkan berat badan.
Kajian lain memperlihatkan orang-orang yang banyak mengunggah selfie biasanya lebih narsisistik dan psikopatik dan mereka yang memoles foto secara digital boleh jadi punya kepercayaan diri yang sedikit.

Media sosial sebagai pengobatan?

Pernah marah-marah dan melampiaskan emosi/emoji di Facebook, Twitter dan Medsos lainnya dengan harapan tindakan ini bisa meredakan suasana hati? Mungkin Anda mengira mengeluarkan kemarahan di media sosial akan membantu menenangkan kondisi mental, namun para ahli di Meksiko memperingatkan media sosial bukan terapi atas persoalan kejiwaan.

Para ahli memantau twit untuk mengetahui para pengguna yang mungkin akan melalukan bunuh diri.

Artinya, Anda harus memikirkan kemungkinan bahwa mengomel di Facebook atau Twitter mungkin saja akan membuat suasana hati Anda lebih parah lagi.
Tapi kemarahan di media sosial juga punya sisi positif.
Para peneliti di Australia menelusuri cuitan untuk 'memindai orang-orang yang berisiko' melakukan bunuh diri, seperti yang dilakukan akademisi Helen Christensen.

Ia dan timnya dengan menggunakan program khusus memantau twit dan menggolongkan cuitan mana saja yang memerlukan perhatian khusus, misalnya dengan memberitahukan risiko bunuh diri kepada keluarga, dokter, atau psikolog.

Di internet juga sudah banyak muncul komunitas online yang memantau posting yang dinilai mengisyaratkan kemungkinan seseorang melakukan bunuh diri dan komunitas ini kemudian menawarkan bantuan kepada yang bersangkutan.

Para peneliti tidak hanya memantau aktivitas di media sosial, bahkan ketika tiba-tiba ada yang 'menghilang dari jagad media sosial' para ahli bisa menyimpulkan bahwa seseorang sedang atau tengah mengalami depresi.

Girang dan sedih

Hal lain yang dilakukan para pakar adalah mengukur kebahagiaan dengan memantau twit berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris, Prancis, Arab, dan bahasa Indonesia.

Ini dilakukan oleh tim peneliti yang tergabung di Hedonometer Project yang menggunakan aneka teks dari Twitter, surat kabar, Google Books, dan bahkan judul film untuk mendapatkan suasana hati pemakai media sosial.

Mereka mengumpulkan 10.000 kata yang paling banyak dipakai dan kemudian menilai tiap kata berdasarkan skala positif-negatif.

Tim di proyek tersebut sekarang memakai pendekatan ini untuk menganalisis tingkat kebahagiaan pengguna Twitter. Mereka juga menganalisis bagaimana kebahagiaan atau kepuasaan terkait dengan faktor lain seperti status sosial ekonomi, geografi, dan demografi.

Jadi, apa yang kita baca dan bagikan di media sosial tanpa kita sadari sebenarnya adalah pintu masuk tentang apa yang sebenarnya ada di dalam hati dan benak kita

Artikel asli dalam. Artikel ini ditulis dari berbagai sumber.

0 comments:

Post a Comment