Nopjr - Gara-gara saya lemah pada membaca khususnya “baca buku,” saya
mendapatkan dua pengalaman yang menurut saya self-awareness atau sadar diri dan
barangkali bisa jadi keringat dingin atau rasa takut sendiri. Pertama, sambil
saya jalan-jalan di sekitar rak-rak buku di suatu perpustakaan umum, saya
melihat ada beberapa tuna-wisma duduk sambil baca buku. Pikiran saya tiba-tiba munncul
bahwa kenapa mereka ke tempat ini (perpustakaan), sebaiknya mereka cari uang
agar mereka mendapatkan tempat tinggal yang layak. Saat saya ambil foto kearah
mereka, saya punya tangan tiba-tiba bergementaran (entah kenapa) lantaran saya
yang punya papan atau rumah tidak biasa beraktifitas seperti yang orang-orang
gelandangan tunduk dan focus pada buku yang mereka baca di samping rak buku.
Yang kedua adalah karena penulis adalah kepala percaya kebanyakan pada media
sosial. Namanya media sosial (medsos)--do
what we want to do without there is chit chat atau kesantunan, tetapi malah
membuat anti-sosial, menjauhkan pertemanan dan mengungkapkan tidak berdasarkan
pada kenyataan. Contohnya, saat jam diskusi di kelas, saya di ingatkan oleh
guru saya bahwa jangan hanya senang dengan argument ‘they say’ atau
’katanya-katanya’ seperti yang ada di medsos. Kalau diskusi seharusnya, kamu,
pakai referensi buku yang kamu dibaca sehigga tidak akan ada lagi “mereka
bilang” kata guru saya.
Jika penulis menyimpulkan contoh kedua peristiwa diatas ini,
keduanya tentu teguran yang keras, terutama sebagai pelajar seperti penulis
untuk lebih giat cinta pada buku dan rumah buku (perpustakaan), karena orang
yang sebut saja ‘gelandangan’, mereka dengan rasa keingin-tahuan dan kecintaan
pada kertas putih, mereka tidak sadar bahwa setelah di baca buku, apakah ada
hasil dari dalam buku tersebut?. Mereka (tuna-miswa) salah alamat, mereka
leibih baik kerja keras untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Tapi
sejarah mengatakan bahwa kalau orang yang cinta dengan melirik-lirik buku,
mereka akan cepat lari dari keadaan sebelumnya yang menyakiti. Konon hal itulah
yang tunawisma mendasari agar mereka dengan muda mendapatkan rumah dan
kehidupan yang layak. Contoh pengalaman penulis yang kedua diatas bisa di
simpulkan bahwa kita seharusnya menghindari kata-kata orang yang berdasarkan
pada kutipan-kutian melalui medsos. Namun demikian, kita bisa teliti apakah dia
katakana itu benar atau tidak. Apakah itu dengan baca buku?
Sebagian masyarakat Indonesia, khusunya (orang Papua) acap kali
dapat nilai memuaskan dalam soal pertanyaan dunia keolahragaan khususnya sepak
bola daripada subjek lain (tidak semua orang) saat tes penjaskes. Contoh kasus,
siswa katakana saja kelas 5 SD, guru memberikan ulangan penjas yang bersifat
artikel dimana guru akan menilai 2 penilaian yakni jawaban jelas dan tes
membaca sebagai pembaca yang baik. Akhirnya, siswa yang tahu banyak tentang
sepak bola, tiga kali lipat lebih mungkin untuk membuat kesimpulan yang akurat
tentang bagian ini sebagai pembaca bagus dan mendapatkan nilai tinggi karena
meman mereka sangat familiar tentang sepak bola. Hal seperti ini mengingatkan
Anda dan penulis bahwa pengalaman lebih penting dari pada belum punya
pengalaman. Begitu juga membaca “buku” tidak hanya saat ulangan datang di depan
kita baru berayap tapi lebih kepada mendalami pengalaman sehingga kami akan
menjawab perbedaan jawaban dunia kenyataan dengan benar tanpa ada noda.
Menjadi Bangsa Tukan
Pembaca
Membaca sebagai persoalan kebangsaan. Sekadar mengingatkan
kembali, bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung
Perpustakaan telah ditetapkan sejak tahun 1995 oleh Presiden RI ke-2 Soeharto.
Tujuan utamanya adalah meningkatkan minat baca bangsa Indonesia yang masih
rendah. Oleh karena itu, dalam konteks ini, di Papua, kita apresiasi
pemerintahan papua yang menyediakan perpustakaan milik pemerintah daerah di
setiap kabupaten. Pembangunan gedung layanan perpustakaan memiliki makna
tersirat akan pentingnya permasalahan minat dan budaya membaca sebagai isu
bersama yang menyangkut identitas bangsa, terutama Papua. Masalah literasi dan
budaya baca tidak lagi menjadi masalah sektoral, tetapi harus menjadi
permasalahan bangsa yang harus menjadi perhatian bersama. Kedua, penetapan
peresmian gedung fasilitas layanan perpustakaan pemerintahan daerah memiliki
arti sebagai peneguhan kembali sekaligus komitmen Perpustakaan pada isu minat
dan budaya baca sebagai problema kebangsaan. Sebagai isu kebangsaan,
Perpustakaan daerah tampaknya menyadari bahwa hal ini harus menjadi tugas
bersama yang tidak hanya terbatas oleh official perpustakaan, tetapi harus
melibatkan banyak pemangku kepentingan, baik dari kalangan pemerintah, swasta,
bisnis, profesional, maupun pegiat sosial atau LSM.
Menarik sekali apa yang dikatakan Najwa Shihab selaku Duta Baca
Nasional pada suatu acara bahwa dengan Perpustakaan akan jadi rumah bersama
bagi pejuang literasi untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan pendiri bangsa
Indonesaia: mewujudkan kecerdasan bangsa. Bangsa yang cerdas dalam hal ini
dapat dipahami sebagai bangsa pembaca. Tidak ada definisi yang pasti mengenai
bangsa pembaca. Namun, sangat jelas bahwa membangun kecerdasan sangat erat kaitannya
dengan upaya membangun bangsa pembaca. Bangsa pembaca adalah bangsa yang
masyarakatnya menjadikan kegiatan membaca sebagai bagian dari kehidupannya atau
kata lain jadikan buku sebagai teman dekat.
Sebagai mengingatkan saja bahwa bapak-bapak pendiri Indonesia
adalah rata-rata kutu buku. Contohnya, seperti Hatta pernah berkata, “kamu bisa penjarakan saya, tapi saya akan
lebih baik kalau ada buku”.
Karakter Tukan Pembaca
Bangsa rakus pembaca atau masyarakat memiliki karakteristik
sebagai berikut. Pertama, bangsa pembaca adalah bangsa yang terbebas dari buta
aksara. Membangun bangsa pembaca dimulai dengan meningkatkan keberaksaraan
(literasi) masyarakat melalui pengenalan aksara serta pengajaran kemampuan dan
kemahiran membaca kata-kata. Di Papua, khususnya, GPM (gerakan papua mengajar)
adalah salah satu cara menormalkan angka buta aksara, di Papua. Pemerintah
setempat seharusnya mensuport gerakan-gerakan seperti literasi ini agar pembaca
tau masyarakat dapat meningkatkan kemampuan membaca tanpa ada buta huruf dan
tentunya perpustakaan daerah harus memfasilitasi dengan perlengkapan
perpustakaan yang lengkap misalnya: komputer, internet, ruang meeting dan
buku-buku nasional maupun mancanegara supaya seluruh lapisan masyarakat,
siswa/i, akademisi maupun homeless dan
aibon sekalipun bisa berpartisipasi di rumah buku alias perpustakaan.
Kedua, bangsa pembaca adalah bangsa dengan budaya membaca yang
tinggi. Budaya membaca merupakan budaya bangsa yang cerdas dan maju. Jika
bangsa Indonesia, secara istimewa Papua mau jadi bangsa yang maju, dan
dikatakan bangsa yang cerdas yang setara dengan negara-negara maju lain, maka
persoalan rendahnya minat dan budaya baca harus jadi prioritaskan.
“Kalau mengoptimalkan
rendahnya budaya baca, kita cinta dulu buku dan perpustakaan, tentunya mulai dari
diri kita sendiri bukan pengelola perpustakaan.”
Beberapa studi menyebutkan, seperti dalam kompas tingkat minat baca masyarakat Indonesia masih rendah.
Misalnya, penelitian dari Central Connecticut State University, (UNESCO), dan
International Student Assessment (PISA) pada 2015/2016 menyebutkan bahwa bangsa
Indonesia menempati rata-ra urutan ke-56 atas dari 60 negara dalam hal minat
baca. Hasil-hasil studi ini menunjukkan pentingnya kerja keras dan kerja cerdas
dalam membangun kemauan dan kebiasaan membaca buku bagi masyarakat Indonesia terutama
Papua sebagai fondasi membangun bangsa tukan pembaca. Kami lebih bagus belajar
dari negara matahari terbit alias Jepang, bahwa, Jepang telah menjadikan
kegiatan membaca menjadi suatu gerakan kultural bangsa yang disebutnya sebagai
tachiyomi, atau budaya membaca sambil berdiri. Masyarakat Jepang telah terbiasa
membaca apa pun kondisinya meski harus sambil berdiri.
Ketiga, bangsa reader atau pembaca adalah bangsa yang mampu menggunakan
apa yang dibacanya untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Membangun bangsa
pembaca tidak boleh berhenti hanya pada peningkatan buta huruf dan minat
membaca, tapi yang lebih penting juga adalah membangun mental membaca. Orang
yang memiliki mental membaca selain mengetahui kebutuhan diri akan bahan bacaannya,
juga mampu memilih dan mentelaah apa yang dibacanya. Ia mampu membedakan
kebenaran isi yang dibacanya, dan tidak mudah menyebarluaskan hasil bacaannya
sebelum meneliti kebenarannya. Ia tidak mudah percaya dengan berita atau
informasi yang belum diketahui kebenarannya (hoaks atau fake news), apalagi
menyebarluaskannya karena ia sudah dewasa dalam intelektualitas melalui membaca
“buku”.
“Indonesia dikenal
dengan fake news (hoax) karena sebagian jurnalis dan pembagi berita jarang
membaca buku”
Selain itu, bangsa pembaca adalah bangsa cerdas, yang memiliki
jiwa kreatif dan inovatif berdasarkan pengetahuan atau hasil bacaan yang
dimilikinya. Mereka dapat secara bijak memanfaatkan pengetahuan dari hasil
bacaannya untuk kehidupannya dan kehidupan sekitar menjadi lebih baik--good social environment. Dengan kata
lain, bangsa pembaca adalah bangsa cerdas, yang mampu membangun peradaban
berdasarkan pengetahuan yang diperolehnya.
Sejarah membuktikan bahwa hanya bangsa pembaca yang bisa jadi
bangsa maju dan memiliki peradaban yang dapat dibanggakan. Anda dan penulis
belajar banyak dari gelandangan yang saya bahas di bagian pendahuluan diatas.
Mereka percaya bahwa membaca buku lebih mudah cara untuk mendapatkan hari
kemenangan pada besok dan di masa depan. Sama hal yang pernah di katakana oleh
Margaret Fuller jurnalistik perempuan Amerika, “Today a reader, tomorrow a leader.”
Mewujudkan bangsa
pembaca
Mewujudkan bangsa pembaca bukan tanggung jawab satu lembaga atau
instansi tertentu, melainkan harus menjadi kerja bersama. Hal penting yang
penulis mau bagi adalah orang tua lebih dulu cinta pada buku; kemudian, setiap
rumah menyediakan setidaknya satu ruangan khusus study room atau penuhi dengan rak buku-buku. Hal ini tidak
akan bisa lakukan sejauh tuan rumahnya memandang buku sebagai kertas yang tidak
bermanfaat. Namun demikian, sementara orang tua sedang baca buku, secara
otomatis anaknya akan ikut berpartisipasi dalam membaca. Oleh karenanya,
membangun bangsa pembaca dan mengkarakterisasikan buku sebagai teman untuk
menjadikan orang cerdas merupakan tanggung jawab perpustakaan (orang-orang
pemerintah) dan orang tua di rumah dan diri sendiri.
Perpustakaan merupakan salah satu penentu dari kemajuan suatu
bangsa. Dalam hal ini, menarik apa yang dikatakan seorang jurnalis The
Guardian, dalam satu tulisannya bahwa kehidupan masa depan akan sangat
bergantung pada perpustakaan dan kegiatan membaca. Perpustakaan (pemerintahan),
meskipun bukan satu-satunya, adalah institusi strategis bagi keberlangsungan
kegiatan membaca dan pembentukan budaya baca masyarakat. Dengan demikian, Anda
dan penulis menjadi yang garda terdepan dalam upaya menegaskan kembali
orientasi politik kepustakawanan bangsa Papua khususnya dan pada umumnya masyarakat
indonesaia untuk membangun bangsa rakus pembaca, bangsa yang cerdas dan
bermental kuat, untuk lari dari tirai misinterpret,
atau salah menerjemahkan.
Konklusi
Penulis menutupi dengan kebiasaan beberapa pelajar Papua yang kadang menegur temannya yang sedang membaca buku di
tempat umum dengan kalimat, “yo ee? anak
sekolah”. Frasa ini tentu mematikan semangat pembaca. Penegur tidak tahu
kalau ia mendukung ketertinggalan budaya baca di Indonesia, khususnya Papua.
Kita seharusnya belajar dari orang Jepan tanpa bilang, “Yo ee? anak sekolah”, kalu tidak penegur lebih baik bilang Japanese,
dimana dapat buku ini atau kenapa negara kamu maju? Pasti Orang jepan langsung
jawab, saya dapat buku dari perpustakaan yang pemerintah disediakan dan saya
punya negara maju karena saya baca buku.
Orang-orang di foto diatas ini adalah di dalam perpustakaan sambil
memandang jauh hidup mereka melalui buku yang mereka baca. Lihat saja mereka
punya barang bawaan itu, tas besar yang berisi selimut, tenda dll. Kalau mereka
bisa, tidak bisakah saya? bahkan bisakah pemerintah memanfaatkan perpustakaan
sebagai salah satu ajang peradaban bagi masyarakat Papua dan Indonesia?
Referensi:
[1]. Kompas: Minat Baca Indonesaia,
[2]. The Guardian: Why the society of Authors is reaching out
[1]. Kompas: Minat Baca Indonesaia,
[2]. The Guardian: Why the society of Authors is reaching out
0 comments:
Post a Comment