Sep 7, 2016

Sosok 'Syeikh Mohammed al-Maktoum' Padang Gurun menjadi Kota Bisnis Internasional

Syeikh Mohammed al-Maktoum/foto

Siapa yang tak kenal Tuan Syeikh Mohammed al-Maktoum : perdana menteri sekaligus pengusaha asal Dubai. Namanya terus berkibar sejak ia mendirikan perusahaan investasi : Dubai World dan Dubai Holding. Dua perusahaan induk itu, kini mengelola tujuh bidang industri yang meliputi telekomunikasi, real estat, keuangan, kesehatan, media, business park, dan hospitaliti. Beberapa usaha kelolaannya yang kemudian mengglobal diantaranya adalah maskapai penerbangan Emirates, Dubai Port World (DP World), dan jaringan hotel Jumeirah. Anak usahanya yang lain : Istithmar dan Dubai International Capital, juga memiliki – atau pernah memiliki — investasi di perusahaan-perusahaan strategis Eropa, Asia, dan Amerika, seperti EADS (induk perusahaan Airbus), Daimler AG, Sony, Travelodge, InterContinental Hotels, Time Warner, Loehmann’s, Barneys New York, Hyflux, Standard Chartered Bank, Cirque du Soleil, Spice Jet, dan masih banyak lagi.

Melihat investasi Syeikh Mohammed di berbagai belahan dunia, banyak pihak yang merasa gelisah dan mulai ketakutan. Mereka beranggapan bahwa usaha taipan tersebut menguasai aset-aset strategis, sebagai langkah taktis orang-orang Arab mendominasi perpolitikan global. Diantara pihak yang gelisah itu adalah para senator Amerika : Barack Obama (kini Presiden AS), Carl Levin, dan John Kerry, yang disebut-sebut telah menjegal rencana Syeikh Mohammed (melalui DP World) mengambil alih pengelolaan enam pelabuhan strategis di negeri tersebut. Mereka khawatir adanya ancaman keamanan jika pelabuhan-pelabuhan itu dikelola oleh pengusaha Arab. Terlebih para emir Uni Emirat Arab (UEA), merupakan penyokong dana bagi organisasi “teroris” : Hamas.

Pasca tragedi 9/11, masyarakat Amerika Serikat memang mengalami apa yang disebut dengan Islamophobia. Sehingga hal-hal yang berbau Islam dan Arab, dilarang masuk ke negeri itu. Karena derasnya tekanan publik di Amerika, akhirnya Syeikh Mohammed al-Maktoum membatalkan rencana tersebut. Meski gagal mengelola pelabuhan di Amerika, namun saat ini DP World telah menguasai lebih dari 65 pelabuhan laut di lima benua. Yang cukup besar diantaranya adalah Pelabuhan Qingdao (China), Pelabuhan Jebel Ali (UAE), Pelabuhan Antwerp (Belgia), dan Pelabuhan Busan (Korea Selatan). Dengan jumlah karyawan mencapai 36.000 orang, kini perusahaan tersebut telah menangani 60 juta kontainer berukuran 20 kaki (TEU). Sesuai dengan pipeline perusahaan, di tahun 2020 nanti DP World akan mengelola 100 juta TEU peti kemas di seluruh dunia.

Perusahaan besutan Syeikh Mohammed lainnya adalah Emirates Airline. Maskapai penerbangan ini didirikan setelah Gulf Air — maskapai milik Bahrain, mengurangi operasionalnya di Dubai. Dengan modal USD 10 juta, di tahun 1985 Emirates memulai penerbangannya untuk rute regional. Pada mulanya maskapai ini hanya menyewa armada milik Dubai Royal Air Wing dan Pakistan International Airlines (PIA). Tak hanya itu, untuk urusan teknis dan administrasi-pun Emirates banyak dibantu oleh PIA. Untuk mengalahkan para pesaingnya di Timur Tengah, Emirates kemudian merekrut orang-orang berpengalaman. Salah satunya ialah Maurice Flanagan, seorang profesional yang sudah berkarier di lebih dari enam maskapai penerbangan dunia.

Pada era 1990-an, Emirates merupakan salah satu maskapai penerbangan yang bertumbuh cukup pesat. Pendapatannya mengalami peningkatan rata-rata USD 100 juta setiap tahunnya. Hingga tahun 1993, omset maskapai ini telah mencapai USD 500 juta. Ternyata lonjakan itu tak hanya terjadi di kurun waktu 1990-an, namun terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan laporan keuangan 2014, Emirates berhasil beroleh pendapatan sebesar USD 24,2 miliar, dengan jumlah penumpang mencapai 49,2 juta orang. Pencapaian ini telah menempatkannya sebagai maskapai terbesar di Timur Tengah, baik dari sisi pendapatan maupun jumlah penumpang.

Emirates di apron Dubai International Airport (sumber : www.hlgroup.com)
Setelah berhasil menjadi yang terbaik di kawasan Teluk, kini ambisi Syeikh Mohammed selanjutnya ialah ingin menjadikan Emirates sebagai maskapai nomor satu di dunia. Oleh karena itu ia tak segan-segan mengucurkan dana demi mengangkat popularitas maskapai tersebut. Diantaranya dengan mensponsori beberapa perhelatan olah raga. Di Liga Premier Inggris, ia telah menggelontorkan dana sebesar GBP 150 juta untuk mensponsori klub Arsenal F.C. Tak hanya di Inggris, Emirates juga mensponsori beberapa klub sepak bola lainnya, seperti AC Milan (Liga Italia), Hamburger SV (Liga Jerman), Real Madrid (Liga Spanyol), New York Cosmos (Liga Amerika Serikat), Paris Saint-Germain (Liga Prancis), dan Benfica (Liga Portugal). Pada lomba balap mobil Formula One, perusahaan pimpinan Ahmed bin Saeed al-Maktoum itu juga sempat mempromotori tim McLaren (2006), dan menjadi maskapai resmi penyelenggaraan even tersebut.

Ambisi Syeikh Mohammed membesarkan Emirates, sejalan dengan cita-cita beliau yang hendak memposisikan Dubai sebagai tempat transit dan hub utama di Timur Tengah. Dengan menjadikannya tempat singgah, kerajaan berharap akan menerima devisa dari para pendatang yang membelanjakan uangnya disini. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan visi tersebut, ia menambah kapasitas Dubai International Airport menjadi tiga terminal. Terminal terakhir : Terminal 3, dibangun di atas area seluas 1.713.000 m2. Terminal ini merupakan terminal terbesar di dunia, yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti foodcourt, pusat hiburan, klub kebugaran, pusat bisnis, dan hotel bintang lima.

Berdasarkan data statistik 2014, ada sekitar 69,9 juta penumpang internasional yang tiba dan berangkat di bandara ini. Angka tersebut telah menempatkannya sebagai bandara dengan jumlah penumpang internasional terbanyak di dunia. Meski cita-citanya menjadikan Dubai sebagai kota transit sudah tercapai, namun perluasan Dubai International Airport tak berhenti sampai disitu. Selain akan membangun Terminal 4, Syeikh Mohammed juga berencana akan mendirikan bandara baru : Al-Maktoum International Airport. Bandara yang berjarak 37 km dari pusat kota itu, nantinya bisa menampung 160 juta penumpang setiap tahunnya. Dengan didukung dua bandara internasional berkapasitas besar, diharapkan akan semakin banyak lagi pundi-pundi yang masuk ke kantong kerajaan.

Tak puas cuma sebagai tempat transit, ambisi Syeikh Mohammed berikutnya adalah ingin menjadikan Dubai sebagai destinasi utama Timur Tengah. Tapi negeri yang sebagian besar wilayahnya diliputi oleh padang pasir itu, tak memiliki obyek wisata yang mengesankan. Tak seperti Mesir dan Turki yang punya Piramid, Spynx, atau Hagia Sophia, di Dubai tak ada situs purbakala yang bisa menarik wisatawan. Namun bukan Syeikh Mohammed namanya kalau tak memiliki ide cemerlang. Untuk menarik perhatian para turis asing, ia kemudian menyulap gurun-gurun tandus itu menjadi kota metropolitan yang berkilauan. Semua-semua yang “paling” (paling tinggi, paling besar, dan paling megah) hendak dihadirkannya di kota ini.

Burj Khalifa di tengah-tengah Dubai/foto
Salah satu bangunan yang mengundang decak kagum orang banyak adalah Burj Khalifa. Gedung setinggi 829,8 meter itu, kini tercatat sebagai bangunan tertinggi di dunia. Dari ketinggian 452 meter, wisatawan dapat melihat pemandangan kota Dubai beserta lekukan permukaan padang pasir. Palm Islands, dua pulau buatan di lepas pantai Teluk Persia, merupakan keajaiban Dubai yang lain. Kompleks pulau yang menyerupai pohon palem itu, dinamai dengan Palm Jebel Ali dan Palm Jumeira. Di sebelah kanan Palm Jumeira, terdapat pula pulau-pulau kecil yang membentuk peta dunia. Kepulauan itu dikenal dengan “World Islands”. Rencananya pulau-pulau itu akan dibangun sejumlah properti yang bisa dimiliki orang-orang asing. Beberapa pengembang seperti Josef Kleindienst (Australia) dan Imtiaz Khoda (Inggris), dikabarkan sudah membeli properti di kepulauan tersebut. Satu lagi bangunan besar di Dubai yang banyak dikunjungi orang ialah Dubai Mall. Menurut Collin Anderson, pusat perbelanjaan ini memiliki luas mencapai 502.000 m2. Dengan area seluas itu, maka kini Dubai Mall tercatat sebagai mal terbesar di dunia. Pada tahun 2014, ada sebanyak 80 juta wisatawan yang datang ke pusat perbelanjaan ini. Sega Republic, Aquarium Dubai, dan Kebun Binatang Bawah Air, merupakan wahana yang menarik para pengunjung.
Setelah sukses membetot perhatian dunia dengan bangunan-bangunan megah, satu lagi langkah Syeikh Mohammed yang cukup jitu adalah mengembangkan Dubai International Financial Center (DIFC). Mengikuti model Singapura, Hongkong, dan London, DIFC memiliki lembaga pengadilan sendiri yang terpisah dari lembaga pengadilan kerajaan. Lembaga ini khusus menangani masalah korporasi, komersial, ketenagakerjaan, dan sekuritas. Untuk menarik minat investor berinvesatsi di kota ini, DIFC tak mengenakan pajak atas profit yang diperoleh para pemodal. Selain itu pemerintah Dubai juga memberikan keleluasaan bagi investor yang akan melakukan repatriasi, sehingga dana yang diinvestasikan disini bersifat likuid. Tujuan Syeikh Mohammed memberikan berbagai kemudahan, agar hot money yang berserakan di seantero dunia bisa berkumpul dan dikelola para bankir Dubai. Strategi ini sejalan dengan ambisinya yang hendak menjadikan Dubai sebagai pusat keuangan dunia.

***

Syeikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum lahir di Dubai pada tanggal 15 Juli 1949. Ayahnya Rashid bin Saeed al-Maktoum merupakan anggota keluarga dinasti Al-Maktoum yang telah memerintah Dubai sejak tahun 1833. Sedangkan ibunya Latifa binti Hamdan al-Nahyan adalah putri dari Syeikh Hamdan bin Zaid al-Nahyan, penguasa Abu Dhabi. Dia menyelesaikan pendidikannya di sekolah perwira Aldershot, Inggris. Sebelum terjun ke dunia bisnis dan menjadi perdana menteri UEA, Syeikh Mohammed pernah menjabat kepala polisi dan menteri pertahanan. Setelah 11 tahun memimpin Dubai, pada tanggal 4 Januari 2006 ia diangkat sebagai emir Dubai menggantikan ayahnya.
Dalam menjalankan bisnis, Syeikh Mohammed banyak mengambil kaidah-kaidah Islam. Salah satu prinsipnya yang cukup terkenal ialah menjadikan uang sebagai alat transaksi yang terus berputar. Menurutnya : “Money is like water. If you lock it up, it becomes stagnant and foul-smelling, but if you let it flow, it stays fresh.” Prinsipnya yang lain yang kini mulai dicontoh beberapa negara Arab ialah menciptakan pemerintahan yang bersih dan dinamis. Syeikh Mohammed tak memperkenankan para pegawai di Dubai hanya duduk berleha-leha. Berbeda dengan pegawai negeri sipil di Indonesia, di Dubai ia menuntut para pegawainya untuk terus berpikir kreatif. “A job in the government is not just a way of making a living; it is a means of contributing to your country. Government offices are for production, not for routine, reliance and indolence; they are places for creativity.”

Dubai Mall/overhead
70 tahun yang lalu ketika Inggris masih menjadikan wilayah ini sebagai protektorat, Dubai hanyalah sehamparan padang pasir dan pelabuhan terpencil. Sebuah negeri yang jauh dari “peradaban”, dimana masih banyak penduduknya yang tinggal di rumah barasti. Ketika itu banyak dari mereka yang masih berpergian menggunakan onta dan tak mengenakan sepatu ketika bekerja. Namun berkat kearifan dan kebijakan Syeikh Mohammed, Dubai bisa terbangun dan menjadi negeri yang terdepan. Dan itu bisa ia lakukan hanya dalam tempo 20 tahun.


Meski Syeikh Mohammed berhasil menyulap gurun menjadi kota bisnis internasional, namun banyak pula suara-suara miring yang mengecamnya. BBC Knowledge dalam sebuah laporannya mengatakan : “Dubai adalah salah satu bentuk kapitalis yang berlebihan.” Disini para investor berduyun-duyun menginvestasikan dananya, untuk mengejar profit besar dari kenaikan harga properti. Di tahun 2008, bubble properti menyerang Dubai. Banyak proyek-proyek yang sebelumnya menjanjikan return besar, terhenti dan akhirnya mangkrak. World Islands, proyek real estat yang cukup ambisius, memberikan kerugian kepada banyak investor. Salah satunya John O’Dolan, pengusaha asal Irlandia yang membeli “Ireland Island”. Ia gantung diri, setelah mengetahui perusahaannya mengalami kerugian EUR 28 juta. Tak hanya para investor yang menderita, para pekerja-pun – yang sebagian besar dari Asia Selatan, harus gigit jari karena tak memperoleh gaji. Banyak diantara mereka yang telah menggadaikan hartanya di kampung, tak mendapatkan apa-apa setelah beberapa bulan bekerja disini. Kini banyak dari pekerja itu yang memilih bertahan di kamp-kamp penampungan dan tak mau pulang ke negeri asal. Tak sedikit dari mereka yang kemudian terlibat rentenir, akhirnya frustasi dan bunuh diri.

Kita belajar dari sosok revosoner seperti dia. Dia bisa karena biasa. Salam.

@makidi.!

0 comments:

Post a Comment