Syeikh Mohammed al-Maktoum/foto |
Siapa yang tak kenal Tuan Syeikh Mohammed al-Maktoum : perdana
menteri sekaligus pengusaha asal Dubai. Namanya terus berkibar sejak ia
mendirikan perusahaan investasi : Dubai World dan Dubai Holding. Dua perusahaan
induk itu, kini mengelola tujuh bidang industri yang meliputi telekomunikasi,
real estat, keuangan, kesehatan, media, business park, dan hospitaliti.
Beberapa usaha kelolaannya yang kemudian mengglobal diantaranya adalah maskapai
penerbangan Emirates, Dubai Port World (DP World), dan jaringan hotel Jumeirah.
Anak usahanya yang lain : Istithmar dan Dubai International Capital, juga
memiliki – atau pernah memiliki — investasi di perusahaan-perusahaan strategis
Eropa, Asia, dan Amerika, seperti EADS (induk perusahaan Airbus), Daimler AG,
Sony, Travelodge, InterContinental Hotels, Time Warner, Loehmann’s, Barneys New
York, Hyflux, Standard Chartered Bank, Cirque du Soleil, Spice Jet, dan masih
banyak lagi.
Melihat investasi Syeikh Mohammed di berbagai belahan dunia,
banyak pihak yang merasa gelisah dan mulai ketakutan. Mereka beranggapan bahwa
usaha taipan tersebut menguasai aset-aset strategis, sebagai langkah taktis
orang-orang Arab mendominasi perpolitikan global. Diantara pihak yang gelisah
itu adalah para senator Amerika : Barack Obama (kini Presiden AS), Carl Levin,
dan John Kerry, yang disebut-sebut telah menjegal rencana Syeikh Mohammed
(melalui DP World) mengambil alih pengelolaan enam pelabuhan strategis di
negeri tersebut. Mereka khawatir adanya ancaman keamanan jika
pelabuhan-pelabuhan itu dikelola oleh pengusaha Arab. Terlebih para emir Uni
Emirat Arab (UEA), merupakan penyokong dana bagi organisasi “teroris” : Hamas.
Pasca tragedi 9/11, masyarakat Amerika Serikat memang
mengalami apa yang disebut dengan Islamophobia. Sehingga hal-hal yang berbau
Islam dan Arab, dilarang masuk ke negeri itu. Karena derasnya tekanan publik di
Amerika, akhirnya Syeikh Mohammed al-Maktoum membatalkan rencana tersebut.
Meski gagal mengelola pelabuhan di Amerika, namun saat ini DP World telah
menguasai lebih dari 65 pelabuhan laut di lima benua. Yang cukup besar
diantaranya adalah Pelabuhan Qingdao (China), Pelabuhan Jebel Ali (UAE),
Pelabuhan Antwerp (Belgia), dan Pelabuhan Busan (Korea Selatan). Dengan jumlah
karyawan mencapai 36.000 orang, kini perusahaan tersebut telah menangani 60
juta kontainer berukuran 20 kaki (TEU). Sesuai dengan pipeline perusahaan, di
tahun 2020 nanti DP World akan mengelola 100 juta TEU peti kemas di seluruh
dunia.
Perusahaan besutan Syeikh Mohammed lainnya adalah Emirates
Airline. Maskapai penerbangan ini didirikan setelah Gulf Air — maskapai milik
Bahrain, mengurangi operasionalnya di Dubai. Dengan modal USD 10 juta, di tahun
1985 Emirates memulai penerbangannya untuk rute regional. Pada mulanya maskapai
ini hanya menyewa armada milik Dubai Royal Air Wing dan Pakistan International
Airlines (PIA). Tak hanya itu, untuk urusan teknis dan administrasi-pun
Emirates banyak dibantu oleh PIA. Untuk mengalahkan para pesaingnya di Timur
Tengah, Emirates kemudian merekrut orang-orang berpengalaman. Salah satunya
ialah Maurice Flanagan, seorang profesional yang sudah berkarier di lebih dari
enam maskapai penerbangan dunia.
Pada era 1990-an, Emirates merupakan salah satu maskapai
penerbangan yang bertumbuh cukup pesat. Pendapatannya mengalami peningkatan
rata-rata USD 100 juta setiap tahunnya. Hingga tahun 1993, omset maskapai ini
telah mencapai USD 500 juta. Ternyata lonjakan itu tak hanya terjadi di kurun
waktu 1990-an, namun terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan
laporan keuangan 2014, Emirates berhasil beroleh pendapatan sebesar USD 24,2
miliar, dengan jumlah penumpang mencapai 49,2 juta orang. Pencapaian ini telah
menempatkannya sebagai maskapai terbesar di Timur Tengah, baik dari sisi
pendapatan maupun jumlah penumpang.
Emirates di apron Dubai International Airport (sumber : www.hlgroup.com) |
Setelah berhasil menjadi yang terbaik di kawasan Teluk, kini
ambisi Syeikh Mohammed selanjutnya ialah ingin menjadikan Emirates sebagai
maskapai nomor satu di dunia. Oleh karena itu ia tak segan-segan mengucurkan
dana demi mengangkat popularitas maskapai tersebut. Diantaranya dengan
mensponsori beberapa perhelatan olah raga. Di Liga Premier Inggris, ia telah
menggelontorkan dana sebesar GBP 150 juta untuk mensponsori klub Arsenal F.C.
Tak hanya di Inggris, Emirates juga mensponsori beberapa klub sepak bola
lainnya, seperti AC Milan (Liga Italia), Hamburger SV (Liga Jerman), Real
Madrid (Liga Spanyol), New York Cosmos (Liga Amerika Serikat), Paris
Saint-Germain (Liga Prancis), dan Benfica (Liga Portugal). Pada lomba balap
mobil Formula One, perusahaan pimpinan Ahmed bin Saeed al-Maktoum itu juga
sempat mempromotori tim McLaren (2006), dan menjadi maskapai resmi
penyelenggaraan even tersebut.
Ambisi Syeikh Mohammed membesarkan Emirates, sejalan dengan
cita-cita beliau yang hendak memposisikan Dubai sebagai tempat transit dan hub
utama di Timur Tengah. Dengan menjadikannya tempat singgah, kerajaan berharap
akan menerima devisa dari para pendatang yang membelanjakan uangnya disini.
Sebagai langkah awal untuk mewujudkan visi tersebut, ia menambah kapasitas
Dubai International Airport menjadi tiga terminal. Terminal terakhir : Terminal
3, dibangun di atas area seluas 1.713.000 m2. Terminal ini merupakan terminal
terbesar di dunia, yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti foodcourt,
pusat hiburan, klub kebugaran, pusat bisnis, dan hotel bintang lima.
Berdasarkan data statistik 2014, ada sekitar 69,9 juta
penumpang internasional yang tiba dan berangkat di bandara ini. Angka tersebut
telah menempatkannya sebagai bandara dengan jumlah penumpang internasional
terbanyak di dunia. Meski cita-citanya menjadikan Dubai sebagai kota transit
sudah tercapai, namun perluasan Dubai International Airport tak berhenti sampai
disitu. Selain akan membangun Terminal 4, Syeikh Mohammed juga berencana akan
mendirikan bandara baru : Al-Maktoum International Airport. Bandara yang
berjarak 37 km dari pusat kota itu, nantinya bisa menampung 160 juta penumpang
setiap tahunnya. Dengan didukung dua bandara internasional berkapasitas besar,
diharapkan akan semakin banyak lagi pundi-pundi yang masuk ke kantong kerajaan.
Tak puas cuma sebagai tempat transit, ambisi Syeikh Mohammed
berikutnya adalah ingin menjadikan Dubai sebagai destinasi utama Timur Tengah.
Tapi negeri yang sebagian besar wilayahnya diliputi oleh padang pasir itu, tak
memiliki obyek wisata yang mengesankan. Tak seperti Mesir dan Turki yang punya
Piramid, Spynx, atau Hagia Sophia, di Dubai tak ada situs purbakala yang bisa
menarik wisatawan. Namun bukan Syeikh Mohammed namanya kalau tak memiliki ide
cemerlang. Untuk menarik perhatian para turis asing, ia kemudian menyulap
gurun-gurun tandus itu menjadi kota metropolitan yang berkilauan. Semua-semua
yang “paling” (paling tinggi, paling besar, dan paling megah) hendak
dihadirkannya di kota ini.
Burj Khalifa di tengah-tengah Dubai/foto |
Salah satu bangunan yang mengundang decak kagum orang banyak
adalah Burj Khalifa. Gedung setinggi 829,8 meter itu, kini tercatat sebagai
bangunan tertinggi di dunia. Dari ketinggian 452 meter, wisatawan dapat melihat
pemandangan kota Dubai beserta lekukan permukaan padang pasir. Palm Islands,
dua pulau buatan di lepas pantai Teluk Persia, merupakan keajaiban Dubai yang
lain. Kompleks pulau yang menyerupai pohon palem itu, dinamai dengan Palm Jebel
Ali dan Palm Jumeira. Di sebelah kanan Palm Jumeira, terdapat pula pulau-pulau
kecil yang membentuk peta dunia. Kepulauan itu dikenal dengan “World Islands”.
Rencananya pulau-pulau itu akan dibangun sejumlah properti yang bisa dimiliki
orang-orang asing. Beberapa pengembang seperti Josef Kleindienst (Australia)
dan Imtiaz Khoda (Inggris), dikabarkan sudah membeli properti di kepulauan
tersebut. Satu lagi bangunan besar di Dubai yang banyak dikunjungi orang ialah
Dubai Mall. Menurut Collin Anderson, pusat perbelanjaan ini memiliki luas
mencapai 502.000 m2. Dengan area seluas itu, maka kini Dubai Mall tercatat
sebagai mal terbesar di dunia. Pada tahun 2014, ada sebanyak 80 juta wisatawan
yang datang ke pusat perbelanjaan ini. Sega Republic, Aquarium Dubai, dan Kebun
Binatang Bawah Air, merupakan wahana yang menarik para pengunjung.
Setelah sukses membetot perhatian dunia dengan
bangunan-bangunan megah, satu lagi langkah Syeikh Mohammed yang cukup jitu
adalah mengembangkan Dubai International Financial Center (DIFC). Mengikuti
model Singapura, Hongkong, dan London, DIFC memiliki lembaga pengadilan sendiri
yang terpisah dari lembaga pengadilan kerajaan. Lembaga ini khusus menangani
masalah korporasi, komersial, ketenagakerjaan, dan sekuritas. Untuk menarik
minat investor berinvesatsi di kota ini, DIFC tak mengenakan pajak atas profit
yang diperoleh para pemodal. Selain itu pemerintah Dubai juga memberikan
keleluasaan bagi investor yang akan melakukan repatriasi, sehingga dana yang
diinvestasikan disini bersifat likuid. Tujuan Syeikh Mohammed memberikan
berbagai kemudahan, agar hot money yang berserakan di seantero dunia bisa
berkumpul dan dikelola para bankir Dubai. Strategi ini sejalan dengan ambisinya
yang hendak menjadikan Dubai sebagai pusat keuangan dunia.
***
Syeikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum lahir di Dubai pada
tanggal 15 Juli 1949. Ayahnya Rashid bin Saeed al-Maktoum merupakan anggota
keluarga dinasti Al-Maktoum yang telah memerintah Dubai sejak tahun 1833.
Sedangkan ibunya Latifa binti Hamdan al-Nahyan adalah putri dari Syeikh Hamdan
bin Zaid al-Nahyan, penguasa Abu Dhabi. Dia menyelesaikan pendidikannya di
sekolah perwira Aldershot, Inggris. Sebelum terjun ke dunia bisnis dan menjadi
perdana menteri UEA, Syeikh Mohammed pernah menjabat kepala polisi dan menteri
pertahanan. Setelah 11 tahun memimpin Dubai, pada tanggal 4 Januari 2006 ia
diangkat sebagai emir Dubai menggantikan ayahnya.
Dalam menjalankan bisnis, Syeikh Mohammed banyak mengambil
kaidah-kaidah Islam. Salah satu prinsipnya yang cukup terkenal ialah menjadikan
uang sebagai alat transaksi yang terus berputar. Menurutnya : “Money is like
water. If you lock it up, it becomes stagnant and foul-smelling, but if you let
it flow, it stays fresh.” Prinsipnya yang lain yang kini mulai dicontoh
beberapa negara Arab ialah menciptakan pemerintahan yang bersih dan dinamis.
Syeikh Mohammed tak memperkenankan para pegawai di Dubai hanya duduk
berleha-leha. Berbeda dengan pegawai negeri sipil di Indonesia, di Dubai ia
menuntut para pegawainya untuk terus berpikir kreatif. “A job in the government
is not just a way of making a living; it is a means of contributing to your
country. Government offices are for production, not for routine, reliance and
indolence; they are places for creativity.”
Dubai Mall/overhead |
70 tahun yang lalu ketika Inggris masih menjadikan wilayah
ini sebagai protektorat, Dubai hanyalah sehamparan padang pasir dan pelabuhan
terpencil. Sebuah negeri yang jauh dari “peradaban”, dimana masih banyak
penduduknya yang tinggal di rumah barasti. Ketika itu banyak dari mereka yang
masih berpergian menggunakan onta dan tak mengenakan sepatu ketika bekerja.
Namun berkat kearifan dan kebijakan Syeikh Mohammed, Dubai bisa terbangun dan
menjadi negeri yang terdepan. Dan itu bisa ia lakukan hanya dalam tempo 20
tahun.
Meski Syeikh Mohammed berhasil menyulap gurun menjadi kota
bisnis internasional, namun banyak pula suara-suara miring yang mengecamnya.
BBC Knowledge dalam sebuah laporannya mengatakan : “Dubai adalah salah satu
bentuk kapitalis yang berlebihan.” Disini para investor berduyun-duyun
menginvestasikan dananya, untuk mengejar profit besar dari kenaikan harga
properti. Di tahun 2008, bubble properti menyerang Dubai. Banyak proyek-proyek
yang sebelumnya menjanjikan return besar, terhenti dan akhirnya mangkrak. World
Islands, proyek real estat yang cukup ambisius, memberikan kerugian kepada
banyak investor. Salah satunya John O’Dolan, pengusaha asal Irlandia yang
membeli “Ireland Island”. Ia gantung diri, setelah mengetahui perusahaannya
mengalami kerugian EUR 28 juta. Tak hanya para investor yang menderita, para
pekerja-pun – yang sebagian besar dari Asia Selatan, harus gigit jari karena
tak memperoleh gaji. Banyak diantara mereka yang telah menggadaikan hartanya di
kampung, tak mendapatkan apa-apa setelah beberapa bulan bekerja disini. Kini
banyak dari pekerja itu yang memilih bertahan di kamp-kamp penampungan dan tak
mau pulang ke negeri asal. Tak sedikit dari mereka yang kemudian terlibat
rentenir, akhirnya frustasi dan bunuh diri.
Kita belajar dari sosok revosoner seperti dia. Dia bisa karena biasa. Salam.
@makidi.!
0 comments:
Post a Comment